Kamis, 29 Oktober 2009

Ngarai Garea

Narnia duduk di closed toilet umum. Matanya masih menyisakan sedikit air, karena dia baru saja muntah. Dia buka screen netbook di pangkuannya, mengawali googling dengan keyworld “ngarai tertinggi”.

Dari sekian banyak yang ditawarkan google, Narnia memilih satu ngarai yang dia yakini mempunyai kapabilitas dapat memuaskan keinginan terakhirnya. Ujung bibirnya ditarik senyum. Sayang, senyumnya tak semanis dahulu. Hambar dan getir, seolah menemukan sesuatu yang mengerikan namun harus diterimanya tanpa toleransi.

*****

Kedatangan Narnia di bandara Tarbar, Freedom City disambut oleh kebekuan. Salju di mana-mana. Dingin, seperti hatinya.

Setelah keluar dari airport, dia langsung membuka pintu taksi yang kebetulan baru menurunkan penumpang. Darisuara benturan pintu, supir di belakang kemudi menyadari keberadaan Narnia. Supir setengah baya itu menegok melalui spion tengah.

“Antarkan saya ke Ngarai Garea,” pinta Narnia.

Sontak si supir menoleh ke belakang. Dia dapati di jok belakang taksinya seorang gadis 19 tahunan dengan wajah pucat, mengenakan mentel berbulu dan memeluk tas punggung kecil.

“Anda yakin mau ke sana?” Sang supir memastikan. Sepertinya dia sudah dapat menduga maksud Narnia, hanya dengan mendengar tempat tujuannya.

Mata Narnia memanas dan kristal di situ sedikit meleleh ke pipinya.

“Yah…,” jawab Narnia mirip desisan, hampir tak terdengar. Si supir jadi tak enak hati.

“Eh, maaf. Bukannya saya bermaksud lancang, tapi… ng…tapi anu, saya segera antarkan ke sana,”ucapnya gelagapan dan langsung meraih setir.

Taksi cuma mengantarkan sampai muara jalan berkelok-kelok, lantaran lajur tertututp salju yang cukup tinggi. Tidak ada motor pembersih salju, karena anggapan: mana ada yang ingin rekreasi ke tempat ini pada klimaks musim dingin tahunan.

Narnia sedikit pun tidak mewarisi darah Kaum Eskimo. Pun mantel berbulunya gagal menjaga kehangatan tubuh. Dia ambil dari dalam tas punggungnya coklat hangat dalam kemasan. Tak sia-sia menyiapkan ini.

Bagi sebagian orang ini memang terdengar gila, abnormal. Namun ini adalah logika oleh sebagian orang, termasuk logikanya Narnia. Orang-orang seperti ini adalah pemilik keinginan mati yang rumit dan penuh tantangan. Semakin rumit proses menuju kematian, malah semakin meyakinkan mereka untuk segera mengakhiri hidup yang penuh kerumitan ini. Ngarai Garea adalah puncak kerumitan dan tantangan, kengerian yang mencekam. Dengan kata lain Narnia tidak akan membiarkan dirinya mati sebelum keinginan terakhirnya terpenuhi di tempat keramat itu.

Namun siapa sangka badai salju mempersunting distrik Ngarai Garea. Hanya menyisakan satu meter jarak pandang. Putih bergulung-gulung. Narnia merasakan kepalanya seperti diapit tangan raksasa. Salju di antara dua kakinya ternoda oleh darah. Dengan gemetar Narnia mengusap lubang hidungnya. Dengan pandangan yang hampir grayscale, dia yakin telapak tangannya berlumur darah segar. Sementara dari jarak 3 meteran, pupilnya menangkap sesosok yang bergerak, menghampirinya! Narnia takut sosok intimidasi itu, ingin lari. Tapi, hantu salju tega merebut kesadarannya. Buram. Kelam.

*****

Kesan awal kepulihan dari mati surinya adalah keprihatinan. Narnia menemukan dirinya di satu bangunan yang hampir tidak pantas dikatakan gubuk. Hanya rangkaian kayu yang dipaku sembarang. Banyak celah di sana-sini, sehingga memudahkan angin menyusup semaunya.

Narnia bermaksud bangkit dari rebahnya, namun kepalanya telah seberat gunung. Dari matanya, benda apa pun di hadapannya berputar-putar.

“Jangan banyak bergerak dulu. Kamu sedang di rumah ibu. Di sini aman,”ucap wanita setengah baya tanpa ditanya. Narnia baru sadar ada seseorang di sampingnya. Bukannya tenang, malah membuatnya makin terlihat gelisah. Hampir saja tadi dia berteriak saat melihat wajah ibu itu. Kulit mukanya hingga leher melepuh, bahkan di beberapa titik ada borok yang masih lembab. Buru-buru Narnia mengalihkan pandang , khawatir membuatnya tersinggung. Lagi pula perutnya mulai mual.

Karia, wanita itu mengulurkan air yang tertuang dalam tempurung fodca (semacam buah kelapa). “Minumlah air ini,” tawarnya.

Agak ragu Narnia menerimanya. Setelah fodca itu berpindah kegenggamannya, dia sempat menatap cairan di dalamnya. Bening. Membiaskan wajah bimbangnya. Mata Karia terlihat bersahabat saat Narnia menubrukkan pandang padanya, meminta kepastian.

Kelihatannya wanita ini orang baik-baik. Seandainya punya niat jahat, barangkali sudah dilakukannya dari tadi, waktu aku pingsan, pikir Narnia.

Awal persetubuhan lidah dan air bening itu, sifat wajah Narnia berubah kecut.

“Rasanya memang sedikit pahit, tapi penyembuhannya cepat. Dan ramuan ini tidak memilikiefek samping seperti obat bermerek kebanyakan. Asli dari Daun Slaktif yang tumbuh saat musim panas,” jelas Karia ramah. Narnia memaksa senyum atas keramahan Narnia.

“Kenapa saya bisa ada di sini, Bu,?”

Karia menunjuk ke suatu arah. Narnia mengikuti tunjukan Karia yang gemetaran. Berujung ke sosok anak laki-laki seumurannya. Anak bertubuh besar itu memotong ranting kering dan dilemparkannya ke perapian. Dia bertepuk tangan kegirangan, seolah telah melakukan perubahan yang besar kepada dunia.

“Itu Random, putra ibu. Sewaktu pulang mencari ranting dekat rumah dia menemukan kamu tergeletak tak sadarkan diri. Semenjak itu kamu pingsan selama dua hari dua malam. Sukurlah sekarang kamu sudah siuman.”

Merasa diperhatikan Random menoleh dan menyadari gadis yang ditolongnya sudah sadar. Dia memburu ke arah Narnia sekaligus dengan cepat merebut tangan Narnia dan mengguncangnya. Mulutnya bergumam tak jelas. Narnia kewalahan menahan guncangan yang memusingkannya.

Karia mencubit ringan lengan putranya. “Random, jangan nakal. Dia belum sembuh total.”

Random menghentikan tingkahnya. Mukanya sok cemberut ke ibunya. Tapi berubah terkekeh konyol sambil manggut-manggut ketika beralih memandang Narnia. Tatapannya memang tertuju ke Narnia, tapi terawangnya menembus wajah Narnia, mendobrak dinding gubuk, menerobos salju, hingga ke negeri antah berantah. Seperti melihat dunia lain. Aneh.

Narnia heran dan sempat menduga-duga. Karia menangkap hal demikian.

“Jangan takut, dia anak yang baik. Hanya saja dia mempunyai keunikan yang tidak dimiliki kebanyakan orang,” suara Karia tulus, namun menyisakan beban dalam kalimatnya.

*****

Di tengah malam yang tenang, Narnia keluar dari gubuk Karia. Baru beberapa langkah, dia berbalik mengahadap gubuk yang mirip kandang ayam itu. Itulah satu-satunya kediaman di sini. Tak ada yang lain. Hanya bentangan salju. Cuma gunungan beku. Menjadi yang terbuang. Ah, Karia yang hidupnya menukik.

Kali ini Narnia tidak hanya berbela sungkawa atas kemalangannya sendiri. Tapi terbagi kepada seorang wanita buruk rupa di gubuk yang condong ke kiri itu. Siang tadi Karia memperlihatkan isi kotak pandora, aliran hidupnya kepada Narnia.

Seorang yang malang adalah Karia yang dihantui suara resleting oleh ayah tirinya sendiri sepulang mabuk tengah malam. Gendang telinganya serasa ditumbuk lenguhan birahi binatang. Beberapa kali seperti ini. Berulang-ulang. Dan satu kali dia telah melarang jabang bayi mengintip dunia atas intimidasi setan dalam diri ayah tirinya.

Seandainya Karia mengadu ke ibunya yang seperti mayat hidup, terbujur di pembaringan, itu sama saja dia menikam jantung ibunya sendiri. Jantung orang tercinta itu terlanjur lemah.

Ibunya hilang ditelan bumi, pun sifat komunikasi Karia raib karena merasa dirinya adalah perwujudan tabu. Lumer seluruh rancangan gadis matang berumur 23 tahun dalam dirinya. Dia campakkan Loirano, tunangannya. Cicin tunangan dia kubur dalam perutnya. Tesis S2nya berlumut. Mulutnya bau.

Malangnya lagi, dia dijual ke rumah bordil oleh ayah tirinya itu seharga HP milik buruh kasar. Di tempat ini komunikasinya kembali berkat teman baru senasibnya. Mungkin karena senasib membuat sugesti saling keterbuakaan. Kendati demikian, tetap saja lokalisasi ini bukan surga baginya. Setiap malam dia diestafet dari hidung belang ke lelaki mesum lainnya. Menjijikkan.

Lokalisasi kebakaran. Kekacauan waktu itu dimanfaatkan Karia untuk melarikan diri. Dia jemput putranya, si kecil Random yang dititipkan kepada seorang wanita tua yang berhati emas dan angkat kaki dari Sagasa karena baginya pulau ini tidak amam lagi baginya.

Membuka lembar baru ternyata sulit bagi Karia dan putranya. Selain putranya jadi bulan-bulanan bocah-bocah seusianya karena dianggap idiot, Karia membawa oleh-oleh isitimewa dari tempat kerjanya dulu. Virus HIV. Pantas saja Karia selalu seperti menahan sakit yang suatu saat bisa saja menghentikan napasnya.karena hal itu tak ada yang menerima. Semua menolak keberadaan mereka.

Terpaksa Karia menyembunyikan keberadaannya dan Random diwilayah terbuang ini, tempat di mana orang-orang yang merasa terbuang dari kehidupan berakhir.

*****

Narnia masih terpaku menatap hampa ke gubuk yang berdencit apa bila ditiup angin. Napas salju memainkan rambutnya hingga menutupi bola mata yang sendu itu. Narnia berbalik arah, membelakangi gubuk. Dia mengepalkan tangan, memungut kekuatan.

“Aku datang ke sini bukan untuk meratapi kehidupan, melainkan untuk mengakhiri segala kerumitan ini,” bisiknya pada diri sendiri.

*****

Selama ini Narnia bersikap dingin dalam menempuh tempat persemayamannya. Pasti. Tetapi saat dia telah berdiri di bibir tebing, bersitatap dengan Ngarai Garea, tiba-tiba saja dia merasa bodoh. Bingung. Tegang. Tenggorokannya sakit menelan air yang macet di kerongkongannya.

“Benarkah ini yang terbaik?” Keragu-raguan menggeliat di hati kecilnya, bagian yang paling jujur dalam diri manusia. Matanya benar-benar terpejam. Apa yang tidak terlihat oleh pupil, dapat dilihat saat seperti ini. Terbayang suatu goresan yang lama-kelamaan utuh menjadi wajah lelaki yang mengaku sangat mencintai Narnia.

“Aku tidak akan meninggalkanmu. Apa pun yang terjadi.” Sungguh Gentleman tanpa diragukan.

Akan tetapi dalam sekejap mata, lelaki itu berubah menjadi banci pengecut.

“Enak saja! Baru satu kali, masa langsung positif. Pasti lo ada main sama yang lain. Udah ngaku saja. Nggak usah sok suci. Pokoknya bukan sama gue titik!”Elak Rasio ketika Narnia mengadu menuntut sikap jantannya. Narnia betul-betul menysesali semua ini. Namun semua ini terlanjur ada.

Bayangan semacam ini semakin mendorong Narnia ke mulut Ngarai Garea. Tangannya sudah merentang. Isapan udara terakhir memenuhi rongga dadanya. Dalam. Lembah di bawah sana menanti. Lembah yang misterius. Tak kelihatan dasarnya karena kabut salju yang bertumpuk.

Lagi-lagi hati kecilnya membawa keraguan,”Benarkah ini pilihan yang tepat?”

Kali ini Narnia mengidap penyakit aneh, yang biasa hinggap di jejaringan otak orang-orang seperti dia, para pemilik keinginan bunuh diri. Pengidap semacam ini bersikeras ingin bunuh diri, namun hati kecilnya, bagian paling jujur itu, ingin aksinya ini dihentikan.

Karena itulah ada yang memilih bunuh diri dengan cara terjun dari bangunan perkantoran saat jam kerja, saat orang ramai. Setidaknya satu dua orang melihatnya dan terjadilah kegemparan. Semakin gempar semakin menjadi-jadilah dia.

Ketika ada yang ingin menolongnya, dia malah sempat-sempatnya mengancam.

“Jangan ada yang mendekat! Atau aku loncat!”

Dialog seperti ini tidak akan meluncur dari orang yang benar-benar yakin dan siap bunuh diri. Seandainya seseoarang betul-betul ingin bunuh diri atas ego dan persetujuan hati kecilnya, yang dia perlukan cuma menyunggingkan senyum mencibir kepada penonton karena berusaha menyelamatkan hidupnya yang bagianya sendiri adalah sampah. Dan selanjutnya menjatuhkan diri dengan tenang.

Narnia termasuk bagian yang pertama, bunuh diri atas ego namun tanpa persetujuan hati kecil, yang biasanya diabaikan banyak orang. Untuk mencegah aksi ini dibutuhkan seorang manusia, siapa pun dia, asal bisa berteriak: Tunggu di situ! Aku akan menjemputmu.”

Tapi adakah orang yang diinginkan hati kecilnya itu, sementara dia di tengah gunung, berhawa beku, pukul empat dini hari, sendirian, tak ada yang tahu keberadaannya. kalau sudah begini dia tidak bisa menghentikan sendiri. Sepertinya ini memang benar-benar akhir.

Semakin gencar saja egonya mendorong Narnia ke dalam kubangan lembah. Di luar dugaan, yang diinginkan hati kecilnya hadir. Meskipun bukan dalam bentuk yang dapat diraba, melainkan berupa virtual. Hanya dirasakan Narnia seorang.

Tiba-tiba saja bayangan Karia menubruk Narnia yang condong ke lembah dari arah depan. Narnia terjajar ke belakang. Karia menumpuk bayangan si pengecut Rasio dengan rupa buruknya yang dihadiahkan oleh seorang wanita karena cemburu buta.

Tapi itu belum apa-apa. Ego Narnia angkuh sekali, dia hardirkan hardikan ayah Narnia yang mengintimidasi. Ayah yang seharusnya membela anaknya itu. Pengusiran, kemarahan ayahnya karena Narnia telah mencoreng nama baik keluarga, malah menendangnya ke lembah. Karia berbalik menyerang murka ayah Narnia dengan pemandangan di mana dia dilempari batu, diusir karena dianggap sebagai aib di di kampung mereka yang disucikan. Terbuang.

Ego Narnia geram, ingin membuktikan dia adalah pesakitan termiris se dunia. Dalam waktu yang singkat Narnia merasakan pandangan aneh dari teman-teman satu fakultasnya. Heran, merendahkan, kasihan, menuding. semuanya berkontaminasi hingga menghasilkan rasa yang perih tak terperi. Seperti luka basah yang ditaburi garam segunung.

“Gue kira anak baik-baik, ternyata…” suara Misstace, si biang gosip itu menyambung dengan berbisik,”iihhh..murahan.” Pelan tapi penuh penekanan. Intonasi semacam ini sangat menohok ulu hati Narnia.

Ego Narnia merasa menang. Sedang Karia tidak melakukan apa-apa, kecuali merangkul Random. Random yang mana lagi, kalau bukan anak yang sering salah mengartikan bahasa manusia itu. Kalau ditanya mau makan, dia malah senyum-senyum dengan gumaman yang tidak keruan. Dia mempunyai bahasa sendiri. Belum lagi tingkahnya yang terkadang tidak terkontrol, membuat Ibunya dimarahi orang-orang.

Berbeda dengan Karia, Narnia hanya sebatas mengandung janin, belum terlahir, tapi dia sudah merasa dirinya paling menyedihkan dan pantas untuk dibuang. Tapi pada kenyataannya beban Karia lebih berat darinya dan Karia masih memilih untuk hidup!

Bila seseorang memerhatikan dari satu pohon tak jauh dari Narnia, mungkin dia akan menyangka Narnia pasien yang kabur dari RSJ. Bukankah terlihat aneh orang waras jungkir-balik, maju-mudur sendiri di bibir tebing? Tapi itulah yang berlaku. Terjadi pergolakan dalam diri Narnia. Pergolakan ego untuk menerima bahwa masih banyak pesakitan yang lebih rumit hidupnya.

Saking beratnya pergolakan itu Narnia tersungkur. Dia menangis. Egonya merasa menjadi pecundang di hadapan Karia. Namun Narnia masih bingung, apakah dia masih berhak menentukan hari kematiannya? Apakah dia harus senang atau marah karena telah bertemu Karia? Apakah dia pantas bersorak “aku menang” atau “aku kalah”?

Semuanya masih membingungkan, sebab ini bukan pilihan sepele, bukan masalah menentukan lebih suka nasi goreng atau mie ayam. Tapi biar bagaimana pun, salju mendengar desis halus itu, hampir tidak terdengar, menyayat.

“Aku ingin menjadi Ibu yang baik.”[]