Rabu, 08 Juli 2009

Tolong Aku!

Saat umurku dua bulan, ayahku meninggal, berarti ibuku menjanda. Ibuku itulah satu-satunya yang mengajariku bagaimana trik masuk surga.

Kata ibuku, ayahku orang yang budiman. Makanya dia berujar,”Sayang, pokoknya apa yang kamu mau, bisa didapatkan di surga. Bahkan kamu bisa bertemu ayahmu di sana.”

Diajak shalat, aku manut saja, karena dua alasan : pertama, mushalla komplek, tempat biasa aku shalat, adalah sekaligus tempat bermain di malam hari, kedua, aku ingin masuk surga!

Disuruh puasa, aku menurut juga karena dua alasan,: pertama, aku malu sama teman-teman jika tidak puasa sebab semuanya puasa, kedua, aku ingin masuk surga!!

Diajari ngaji oleh Ustadz Raffi, yang sekaligus merangkap jadi ayah baruku, aku sanggupi juga karena dua alasan: pertama, aku takut dimarahinya, kedua aku ingin masuk surga!!!

Orang kebanyakan jika ditanya, kenapa ingin masuk surga? Jawabannya mungkin adalah ingin merasakan betapa lezatnya nikmat di surga. Namun aku tidak demikian. Aku punya motif terselubung. Tapi sayang, untuk sementara aku malas membicarakannya. Mohon jangan paksa aku.

*****

Awalnya sebelum Ustadz Raffi menikahi ibuku, dia mengajarkan mengaji di mushalla komplek, dan tinggal di rumah sewaan yang cukup jauh dari pemukiman, tepatnya di sebelah timur komplek.

Sewaktu Ustadz Raffi baru bermukim di komplek Kayuh Baimbai ini, warga tidak terlalu mengenalnya, bahkan sampai saat ini. Terhitung dari tiga tahun silam, saat di mana Ustadz Raffi terseok-seok menjinjing tas besar, hingga sekarang, dia dikenal hanya sebatas santri dari sebuah pondok pesantren di Jatim. Cuma sampai di situ. Tak lebih barang sedikit pun. Terkecuali setelah dia menikah dengan ibuku, ada sedikit tambahan, namun aku tak ingin mengatakannya saat ini.

Kala itu berhubung penggawa mushalla komplek telah menginjak usia udzur dan ingin beristirahat, bidikan menancap pada Ustadz Raffi, yang ternyata seorang pengangguran, sebagai pengganti.

Jadilah dia yang mengelola mushalla. Dan orang ini membuka TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an). Setelah dia duduk bersama ibuku di pelaminan, dia melepas TPA-nya, dan dilanjutkan oleh penerus.

“Biar lebih khusyu’ ibadah dan fokus mengurus rumahtangga,” katanya.

Benar- benar selaksa malaikat. Siapa yang tidak bangga punya ayah baru seumpama ini?

*****

Jika bel pulang bertugas, aku selalu melongo. Bukannya aku anak yang kelewat manja, tetapi aku benar-benar iri lagi dengki, kalau aku mendapati tubuh mungilku ini di gerbang SDN Surgi Mufti 5.

Selalu saja aku melewati gerbang ini sebatangkara. Sedangkan Andini ditunutun ayahnya yang polisi itu. Kalau Mia, anak manja itu, pasti menempel di punggung ayahnya.

Kalau Ayah sibuk, setidaknya Ibu atau Kakak yang menjemput. Seperti Sabrina, selalu ibunya yang menyambut di gerbang. Untuk Andre, kakaknya yang turun tangan.

Walau ingin, tapi aku tak ingin egois. Kasihan ibuku. Secara fisik, dia tidaklah tampak memiliki jantung yang lemah, namun sebenarnya, sudah tiga tahun ini Beliau bolak-balik ke dokter jantung. Mana mungkin aku menerima tawaran ibuku tercinta untuk menjemputku, sementara suatu saat dia bisa saja tumbang.

Ayah baruku? Kelihatannya dia tak punya inisiatif sedikit pun untuk menjemputku. Entah mengapa. Sibuk ibadah, mungkin. Aku pun tak ingin dijemput olehnya. Itu ada alasannya. Untuk sementara aku malas membicaraknnya. Mohon jangan paksa aku.

*****

Sepulang sekolah ada kegemparan. Di jalan depan gerbang sekolah, teman-teman ramai. Aku memaksa menyeruak masuk ke kerumunan, sampai-sampai buku latihan bahasa Indonesia-ku, yang dijejali nilai sempurna, lecek.

Di tengah kerumunan itu ada Erika yang nangis-nangis. Seseorang, yang aku ya-kini dia adalah ayah Erika, menenangkannya. Di sudut kerumunan kulihat ada pria dengan pakaian acak-acakan. Dia terkapar bersama wajah bonyoknya.

“Ada apa?” tanyaku pada Rio.

“Preman itu tadi mau memalak Erika. Untung, ayah Erika keburu datang. Habis itu premannya marah-marah dan ngajakin be-rantem. Untung ayah Erika hebat be-rantemnya. Mampus tuh preman. Rasain lho!”

Wah … aksi heroik!

Teman-teman , semuanya tepuk ta-ngan dan teriak,

“Hore…! Hore….!”

Perlahan Erika akhirnya tersenyum. Pasti bangga kepada ayah yang melindunginya itu.

Oleh suatu perasaan, aku tertarik mundur dari khalayak dalam bisu. Bahuku guncang. Mohon jangan usik aku dengan pertanyaan,”Kenapa kamu nangis?”

*****

Hari ini Bu Asmarina, guru bahasa Indonesia kami, memberi tugas menga-rang dengan tema “ayah”. Lantas aku pura-pura sakit. Cukup menerapkan pose menelungkup di meja, aku yang murid teladan ini tentu akan ditanya Bu Asmarina,

“Kamu sakit, Rina?”

Aku mengangkat wajah.

“Rina, muka kamu pucat!” tanggap Bu Asmarina.

Pucat? Oh iya, belakangan ini aku memang sulit tidur karena suatu alasan.

Beberapa menit sesudahnya, siapa pun bisa menemuiku di UKS. Aku tersedu sepeninggal Novi, teman sebangkuku yang tadi mengantarku ke sini. Atas permohonanku sendiri dengan alasan supaya dia tidak ketinggalan pelajaran, dia mau meninggalkanku. Aku tak ingin dilihat seseorang di saat seperti ini.

Inilah wujud asliku. Sepintas aku adalah tembok Cina, sangat tegar. Kalau saja mau lebih jeli sedikit, aku ini tak lebih kuat dari kayu dengan luka akibat rayap, lapuk, sangat rapuh. Atau kausebut saja aku agar-agar.

Bu Asmarina pasti tidak curiga bahwa aku lari dari tugas kali ini. Terserah jika ingin mengataiku sombong, namun aku ini benar-benar jenius. Dan di antara matapelajaran yang mudah itu, Bahasa Indonesia paling kukuasai. Bukan apa-apa. Aku Cuma hendak memastikan bahwa Bu Asmarina tak mungkin mencurigaiku.

Otak kananku bisa saja mengarang karakter ayah super. Dan itu akan mendustai diri sendiri, pikirku, jika kulakukan. Mungkin saja aku mengambil sampel ayahnya Erika, tapi itu hal memalukan. Otak kiriku mendobrak-dobrak daya khayalku dengan segala realita yang digiringnya, kenyataan yang pahit.

*****

Suatu kali aku ingin mengutarakan bebanku kepada Ibu. Tapi saat pupil mataku menangkap sosok itu, bersileweran jantung-jantung yang kapan pun bisa mogok mendadak. Aku tak setega itu.

Lain kali ibu mendapatiku menangis di kamar. Sebetulnya ibuku baru datang dari pengajian malam Minggu, pulang sehabis isya.

“Ayah, Rina kenapa?” tanya ibu, hampir berbenturan dengan ayah baruku di muara pintu kamarku.

“Nggak tau. Dari tadi nangis terus. Ditanya kenapa, dia diam saja. Tolong ibu saja yang menenangkannya. Saya mau keluar dulu,” cerocos ayah baruku.

Dia pun berlalu sambil berdehem. Deheman berat yang hanya dipahami oleh sebagian orang.

Ibu masuk ke kamar, lalu mengusap ubun-ubunku. Sedari tadi aku memeluk lutut dan menyembunyikan wajah di baliknya.

“Sayang, ada apa?” Suara ibu lembut.

Hampir saja aku gegabah dengan menyampaikan kesulitanku, jika aku tidak mengangkat kepala, menatapnya. Benar, jantung-jantung itu masih hilir mudik.

“Sayang, cerita dong sama mama, ada apa?”

Aku cepat-cepat menghapus airmata, dan menggeleng. Sedetik kemudian, aku tenggelam di dekapan Ibu.

*****

Semoga saja tidak terlambat, kenalkan, ini ayah baruku. Orang itu tidak bekerja lagi semenjak menikah dengan ibuku. Dia beralasan, seperti yang sudah kukatakan, agar fokus ke ibadah dan rumahtangga. Dia tidak lagi sibuk dengan dunia. Malaikat, bukan?

Jika aku sering menjatuhkan airmata ibu dengan prestasi, malaikat ini pun sering menguras airmataku. Ah, tahukah, betapa pilunya bagian yang kedua itu? Di situlah perbedaannya.

Hari ini pun, saat Ibu tak ada, aku menangis sejadi-jadinya.

Aku tak sempat kabur ketika menyadari malaikat hadir dengan seringainya. Bahkan hari ini lebih menyakitkan dari sebelum-sebelum ini. Aku berdarah-darah lebih melimpah. Sama melimpahnya dengan airmataku.

Sungguh selama ini, aku ingin beramah-tamah, tetapi kali ini, aku sudah tak tahan lagi. Sebetulnya malaikat itu iblis! Jauh-hauh hari telah kukatakan, ada sedikit tambahan informasi setelah dia menikahi ibuku, yaitu dia punya kelainan.

Hatiku perih mendengar derekan resleting. Apalah arti kecerdasan. Apa gunanya prestasi? Piala berderet-deret itu cuma diam! Lagi-lagi lenguhan itu menghujam bayang-bayang masa depanku, yang telah suram lagi curam.

Jauh di alam kalapku, pisau dapur itu kuinginkan mengakhiri segalanya. Apakah aku atau iblis itu yang harus meninggalkan nama di nisan? Terserah!

Lagi-lagi aku disentak sesuatu. Seandainya itu kulakukan, aku takkan ma-suk surga. Padahal aku aku ada keperluan di sana.

Mentalku remuk berserpih-serpih. Jika diperbolehkan, izinkan aku melibat-kanmu di cerita ini. Jadilah tempat cur-hatku. Baiklah, kau sebenarnya ingin tahu apa alasanku masuk surga, meski itu tak penting bagimu.

Aku ini masih bocah, mempunyai keinginan seperti Erika! Jika masuk surga, aku cuma ingin mengatakan pada ayahku di sana, bahwa aku sungguh membutuhkan ayah, yang sebagian darahnya mengalir di diriku. Aku ingin mengadu kepadanya bahwa ayah baruku telah menyakitiku, tak berperasaan. Aku minta belas kasihan, pembelaan, seperti Erika.

Aku tak butuh ayah baru macam iblis laknat terkutuk itu! Sekali lagi kutegaskan, aku butuh ayah yang melindu-ngiku, bukan yang suka meniduriku!!! []