Sabtu, 12 September 2009

Bulan Malas

Dibuka dari malam 1 Ramadhan hingga satu bulan ke depan, umat islam bersuka cita. Banyak hal yang menyenangkan di bulan ini. Baik itu positif, maupun negatif, bahkan kombinasi positif-negatif.

Yang haus pengetahuan agama tentu bakal traveling ke masjid-masjid yang mengadakan ceramah shubuh. Pasangan kekasih yang kebetulan orang tuanya super protektif jadi punya alasan buka bareng teman di luar berkedok kencan yang indah. Sementara itu para ABG beramai-ramai ke masjid atau lebih tepatnya ke taman masjid. Bukan untuk shalat tarawih, justru ngobrol-ngobrol tidak ada juntrungannya, bahkan sampai pacaran. Naudzubillh.. Dua bagian akhir ini, bukan dimaksudkan pandangan sinis pada generasi-generasi muda kita, namun ini menyangkut fakta lapangan, kendati tidak mutlak.

Hari pertama dan hari terakhir, itulah dua hari pusaka. Jama’ah shalat tarawih memenuhi masjid pada dua hari itu. Spirit hari pertama karena tarawih perdana tahun ini. Sedangkan spirit hari terakhir karena sebagai penutup atau kenangan. Lantas, mana spirit hari-hari di antara keduanya?

Pada bulan Ramadhan, alih-alih memperbanyak ibadah, malah ritinitas harian yang biasanya dikerjakan jadi bolong-bolong. Bulan ini dijadikan timing untuk bermalasan. Lemas karena puasa biasanya dijadikan sebagai alasan. Agaknya alasan macam ini mengkambinghitamkan puasa. Seolah-olah puasa itu sebagai beban.

Seorang pakar yang mendalami organ pencernaan, dalam bahasa sederhana beliau memaparkan tentang pola makan yang sehat.

“Pola makan yang ideal itu makan 3 kali tiap harinya. Namun ada kalanya kita perlu mengistirahatkan organ pencernaan kita secara berkala tiap bulan atau tahun, dengan puasa misalnya,” jelas beliau.

Jika memandang dari sudut uraian tersebut di atas, sepertinya puasa tidak bisa diartikan sebagai beban , atau cuma sebatas kewajiban umat islam, namun lebih. Yakni “kebutuhan” seluruh manusia.

Selagi itu, di lain bilik ada pula yang kerjaannya tidur terus-terusan dengan dalih tidurnya orang puasa adalah ibadah. Dari pada terjaga dan melihat yang haram.

Sebenarnya orang-orang yang otaknya terjerat oleh asumsi sumbang dan termakan mentah-mentah akan omongan yang dasarnya samar semacam di atas, tidak akan melakukan hal demikian, seandainya mereka mengetahui esensi dari bulan yang penuh berkah ini. Salah satunya adalah sebagai deskripsi bagaimana kondisi perut orang miskin. Apa itu akan dapat dirasakan seseorang yang berpuasa sementara dia sendiri tidur sepanjang hari dan terbangun saat bedug dan makanan telah tersaji. Sambil berbuka puasa dia berucap,”Huuh…puasa hari ini penuh perjuangan.”

Harusnya orang-orang seperti ini perlu disadarkan dari kekurangtepatan tindakannya, bahwa bulan Ramadhan belum sempurna jika hanya diisi ibadah berupa tidur (ibadah pasif/antisipasi dari dosa) saja, akan tetapi disertai ibadah aktif. Tarawih, tadarus Al Qur’an, shalat malam, lebih-lebih pada malam ganjil 10 akhir Ramadhan. Itu pun belum termasuk ibadah wajib.

Namun jangan salah, selain ibadah hablumminallah (yang berhubungan dengan Allah), ada lagi ibadah hablumminannas (yang berhubungan dengan makhluk). Salah satunya mempererat tali silaturrahim yang mungkin sudah agak melorot.

Seperti halnya layanan domain dijaminmurah.com, mengadakan lomba menulis artikel di blog dengan harapan agar lebih akrab dengan kustomer. Ini adalah sebuah upaya yang bernuansa lebih cerah ketimbang tidur melulu di bulan yang suci ini.

Sekejap kucuri waktu. Memungut potongan-potangan mozaik masa lalu yang berserakan di sekujur raga. Apa yang dihasilkan tangan ini kemarin, detik ini, besok? Dan apakah mata ini besok masih dapat melihat tangan yang berlumur itu? Lalu kapan lagi kening ini sejajar dengan kaki, yang entah ke mana saja dia menggiringku. Kalau boleh bertanya, siapa yang bisa memastikan aku masih berkesempatan mencuri waktu di bulan suci selanjutnya?[]

Kamis, 03 September 2009

Aya Acara Inti

Asumsi yang secara wajar atau yang sering diucapkan MC, untuk mengartikan makna dari “acara inti” adalah tujuan kenapa diadakannya acara itu. Seperti buka puasa bersama, misalnya.
Namun MC tak bisa memaksakan apa yang dia katakan kepada semua orang, soalnya setiap orang punya otaknya masing-masing. Buat apa punya otak kalau cuma digunakan untuk mikirin bagaimana cara mengangguk yang dramatis, biar orang terharu? Ini adalah demokrasi.
Orang-orang kami (identitas disamarkan) mengartikan makna “acara inti” lebih manusiawi lagi. Apalagi yang paling manusiawi dalam sebuah acara itu melainkan makan? Makan itu manusiawi benget ’kan? Kan ada dalilnya: setiap yang nggak makan bukan manusia dan setiap manusia pasti makan, lebih-lebih kalau manusia itu namanya Aya.
Ada apa dengan Aya? Dialah orang yang paling manusiawi dalam setiap acara yang mengandung “unsur makan”.
Rumus : acara dimulai dia belum datang, Pas bagi konsumsi, dia datang.
Simulasi :Ahad, 29 Oktober 2008. Aula IAIN Antasari Banjarmasin. Dalam sebuah acara seminar jurnalistik yang diadakan LDK Nurul Fata. Setengah jam sebelum acara, kami tiba di gerbang IAIN. Aya tak seperti kami yang memasuki kawasan IAIN, dia malah pulang ke rumahnya. Katanya mau ngambil uang. Seminar mulai, daun telinga Aya belum muncul-muncul juga. Beberapa saat atau lebih lama lagi pastinya, Aya datang dan duduk di sampingku. Anehnya, tak lama setelah itu panitia bagi konsumsi.
Baru-baru ini pun kejadian lagi. Terhitung baru kemarin dari tulisan ini diposting, acaranya buka puasa. Tentulah acara ini mengandung unsur yang paling manusiawi. Awalnya aku ragu ngikutinnya soalnya puntik itu jauh benget dari kutub utara. Kalau dari rumahku paling nggak 20 KM-an aja. Tapi tetap aja malas jika nggak ada barengan.
Kebetulan Aya SMS, ngajakin ke sana. Kuterima aja. Kami sampai sana pukul 03.30WITA. Sedangkanbuka puasa itu pas adzan magrib (kalau Afgan Shubuh itu namanya lafadz niat puasa). Datang seawal itu nggak merusak reputasi Aya sebagai manusia paling manusiaw, karena sekitar pukul limaan dia jalan-jalan. Dan pas dekat bukaan orang sudah rapi duduk mngitari makanan baru dia datang. Benar-benar manusiawi sekali beliau.[]

Pondok Merpati
Jum’at,14 Ramadhan 1430 H.
07.36 WITA.

Porno+Jorok=Pengetahuan

Husy… jangan berpikir negatif dulu. Ini bukan cerita nonton film bokep yang seronok itu, terus kita tahu ilmunya supaya bisa mempraktekan kepada bukan tempatnya (sama kucing, misalnya).
Ilmu bukan hanya didapat dari bangku sekolah. Belajar dari kehidupan pun tak kalah pentingnya. Seperti halnya film bollywood berjudul Slumdog Millionaire yang berkisah tentang seorang milyader yang nggak terpelajarsama sekali. Dia Cuma belajar dari kehidupan. Yah… walaupun cuma film, namun itu ada benarnya juga.
Dan kali ini aku akan berbagi cerita tentang bahwa ilmu bukan hanya bisa diperoleh dari yang bersih, sopan, santun, terhormat, mulia (atau apalah) saja. Namun juga dari dua kata yang dianggap tabu ini: porno+jorok.
Kalau nggak keliru cerita ini waktu aku duduk di kelas dua Mts. Mata pelajarannya fiqih oleh Ustadz A. QUsyasyi. Nggak tau ulah siapa materi saat itu jadi melenceng ke arah seks (biasanya ada yang mancing dengan pertanyaan). Tiba-tiba ada santri yang penasaran dan khawatir sebelum waktunya,”Gimana jadinya, kalau punyaku nggak cocok sama punya istriku nanti?”
To the point saja Al Ustadz menguak cakrawala dari hal yang jarang dipikirkan oleh orang dengan peragaan beliau yang di mataku sungguh menakjubkan. Beliau ngacungin satu jari tangan.
“Ini apa?” tanya beliau.
Sarjana S3 juga tau, yang beliau acungin itu bukan jempol kaki, tapi jari kelingking . Beliau benar-benar menunjukkan jari kelingking itu ke setiap santri, seperti meyakinkan bahwa itu betul-betul jari kelingking dan akan digunakan kepada hal yang sangat luar biasa (kayak kontestan di The Master gitu atau kebalikannya, kontestan The Master kayak beliau. Soalnya lebih dulu beliau yang memperagakan, tapi sayang belum sempat beliau patenkan).
“Lihat jari kelingking ini kalau kita masukkan ke sini.” Kelingking beliau masuk ke lubang hidung. Jorok! (bagi pandangansebagian kalangan, namun aku pribadi tidak. Malah berasa kayak seni gitu, he.. he… becanda)
“Hidung kamu merasakan tidak dimasuki kelingking?” tanya beliau kepada seorang santri yang ikut-ikutan. Santri itu mengangguk cepat.
Beliau ganti jari kelingking menjadi jari manis. Seperti yang telah lewat, beliau masukkan ke lubang yang itu lagi. “Berasa tidak?”
Semuanya mangut-mangut. Ganti jari lagi… sampai seterusnya hingga ibu jari. Dari jari yang paling kecil hingga yang paling gede, lubang hidung dapatmenyesuaikan daya apitnya.
Beliau mengakhiri cakrawala ini dengan, “Nah, sekarang apa yang kalian khawatirkan lagi. Dari yang paling kecil sampai yang paling besar, semuanya pas!”
Begitulah sobat pembaca di mana pun berada, dari hal yang porno dan diperagakan secara jorok (sekali lagi anggapan sebagian orang) pun dapat diperoleh pengetahuan.
Setelah kita mendapat pengetahuan ini, diharapkan nggak ada lagi yang berhubungan intim pra nikah (apa lagi pra sejarah) dengan dalih apakah klop atau nggak dengan punya pacar. Bersabarlah sedikit, sobat, semuanya ada proses dan saat itu akan tiba. Jadi tenang saja, aku jamin pasti compatible kok.

Pondok Merpati
08.33WITA.
Selasa, 11 Ramadhan 1430 H.

Hipnotis Audiens


Belakangan ini banyak bermunculan ahli hipnotis, setelah Tommy R. Selain tampil di layar kaca, mereka gencar-gencarnya mengarang buku hipnotis. Sebelum memasuki dunia perhipnotisan biasanya pengarang lebih dahulu meyakinkan atau tepatnya menghipnotis pembaca bahwa ilmu hipnotis itu tidak ada sangkut pautya dengan dunia pergaiban .
Ngomong-nomong soal hipnotis, aku punya satu kisah di bulan ramadhan kali ini (sebenarnya nggak bulan kali ini aja sih, setiap tahun malah).
Aku adalah seorang anak manusia yang dipercaya sebagai salah satu pembaca shalawat tawarih di mushalla dekat tempat tinggalku. Kalau kerjaan macam ini’kan membutuhkan suara yang lantang dan napas panjang. Sayangnya napasku pendek. Kendati demikian nggak terlalu menyulitkanku, kecuali pada shalawat bagian akhir yang lumayan nggak pendek atau seperti kata kebanyakan orang disebut panjang. Berikut kutipannya:
اللهم صل على رسولك سيد نا ونبينا وحبيبنا وشفيعنا و ذخزنا و مولانا
.محمد
Makanya itu pas membaca shalawat yang ini aku agak cepat. Namun tetap saja sampai kalimat و ذخزنا leherku sudah kayak tercekik. Bantuan tak diharapkan pun datang. Bukannya mempermudah malah menjadi tambah sulit.
Aku ini orang yang sering terbawa (terhipnotis) audiens. Jadi walupun aku yang megang kendali (mic-nya,Bo) bacaanku tetap ngikutin jamaah yang lainnya. Kalau jamaahnya cepat, aku sih sip-sip aja, tapi kalau jamaahnya kakek-kakek yang ngomngnya udah udzur, bah bakal sumbang sama bacaanku yang cepat.
Nah, dalam kasus shalawat ini audiensnya (lebih tepatnya orang di sampingku) bukan seorang kakek-kakek macam di atas. Bahkan lebih parah (bagiku). Napas orang ini panjaaaaaaaaaaaaaaaaang da..n hhh… lantaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaang!
Simulasinya gini, pas aku sampai pada kalimat و ذخزنا orang di sebelahku ini kasihan dan bantuin nyambung ومولانا محمد, tapi نا-nya panjaaaaaaaaaaaaang banget. Aku ya juga ikut terseret kedalamnya panjangnya. Mataku terbelalak, urat leher ngambang ke permukaan kulit, suara kayak kambing. Habis pulang terawaih aku langsung cukuran jenggot (yang mengundang kontroversi sohib-sohibku). Yah… setidaknya ini sebagai tindakan mengurangi karater kambing setelah kejadian kehabisan napas tadi.[]

Pondok Merpati
06.57 WITA.
Selasa, 11 Ramadhan 1430H.

Benar-benar ujian

Ini sudah hari ulangan/ujian ke-8. Soalnya, huwaaa….. syusye minta ampun. Di kala itulah sederetan petaka menghampiri hidupku yang hampa.
Berawal dari malam ulangan ke-8. Yang diujikan adalah mata pelajaran Nahwu dan Lughatul Arabiyyah. Lughat, ah… nggak terlalu nyita pikiran tuh (Ustadz…… masam muhanya, sidin gurunya pang). Bukannya maksud merendahkan, pertanyaannya emang nggak sulit-sulit amat. Nah, yang jadi masalah itu Nahwu, pertanyaannya aja bikin ngungbi, apalagi jawabannya. Lebih-lebih ini…. Ini…. matapelajaran pokok! Nilai di bawah 6, siap-siap saja disayang walikelas (tinggal di kelas… tinggal di kelas… ye….)
Seperti yang sudah aku bilang, petaka ini berawal dari malam ulangan ke-8. Biar mudahnya, mari kita flashback dulu ke waktu siang. Siang itu sangat membakar. Aku paling nggak tahan kalau kepanasan. Mana hari panas, pakai acara mati listrik pula. Kipas jadi nggak berfungsi. Aku mandi keringat. Bajuku sudah jadi kayak jemuran kehujanan. Kulit lengkat lagi. Ciaaaaatt….. aku sudah benar-benar amat sangat nggak tahan sekali.
Aku menyelamatkan diri ke kelas. Saat panas begini bagiku ada dua tempat yang sangat pas untuk dikunjungi, yaitu kutub utara dan selatan. Namun berhubung tempat itu sangat jauh dari sekolahku, yah… di kelas pun jadi (sebenarnya di mushalla juga nggak kalah enaknya, tapi lagi malas aja).
Di kelas aku mondar-mandir nggak keruan. Padahal besok ulangan penting. Tapi aku tidak bisa kosen di kala panas begini! Dalam pikirku, ah nanti saja belajarnya, malam juga bisa. Singkat waktu (ini dia kelebihan menulis, sebentar-sebentar nyingkat waktu) aku telah sampai di malam hari. Waktu itu antara maghrib-i’sya, bukannya belajar, aku malah KKN (kunyuk-kunyuk narai). Habis isya aku kebanyakan makan, jadi malas belajar. Ngantuk.
Namun biar bagaimana pun, aku musti belajar, besok matapelajaran pokok. Aku belajar, sambil rebahan. Tahu kenapa akibatnya. Aku ketiduran. Sukur (sukur dalam artian “untung”, bukan si Sukur ketua ibadah itu) aku terbangun setengah empat pagi Aku gemetaran belum belaja apa-apa. Aku sibuk mencari-cari kitabku. Alamak tertindih ternyata, jadi penyok deh.
Saking stresnya, kumakan kitabku (seandainya ada yang bilang makan kitab itu enak, untungnya nggak ada yang bilang kayak itu). Aku hidup-hidupan (kalau mati-matian, mana bisa aku ikut ulangan) belajar. Nahwu itu, jika ditimbang-timbang, kayak fisika, otak terbanting-banting mikirnya. Akibatna aku nggak sarapan pagi itu. Padahal kalau lapar, aku agak sedikit nggak pintar (kalau kenyang tapintar saikit).
Hitungan menit saja bel masuk bunyi. Aku optimis bakal dapat menjawab semuanya. Soalnya aku sudah mengahapal rumus-rumusnya. Aku bilang pada temanku yang kursinya dekat denganku,
“Zan, mun handak meneron, lajui ja, hari ini aku handak lakas keluar. Parut padih nah. Balum makan.” (beeeh.. keren banget ngomongku waktu itu, sambil nepuk-nepuk perut lagi)

Di kelas…
Lembar soal dibagi.
"إنَالله وإنَاإليه رجڠون" Ucapku.
Aku memang hapal ruumusnya. Tapi kalau pertanyaanya:
"لبناءالأجوف ڽلا ڽة أوجه حركة، بينها"
Jawabanya yang mana? Aku hapal, tapi nggak paham. Ah…. Sia-sia! Biar hapal, tapi soalnya nggak paham, itu berarti sama saja dengan pribahasa “pagar makan tanaman” (silakan temukan benang merahnya antara permasalahanku dengan pribahasa ini, pengomen pertama mendapatkan satu set mug cantik).
Singkat cerita (lagi!) satu demi satu teman-teman yang lainnya keluar. Sampai tinggal beberapa orang, dan aku termasuk dari orang-orang itu. “Aku” yang mana? Itu, “aku” yang tadi ngomongya pengen cepet keluar sambil nepuk-nepuk perut. Dan detik itu pula teman yang kusuruh kalo mau, nyontek buruan aja, berpaling ke mejaku.
“Ham, badahulu lah…”
Semuanya ludes, kecuali tinggal tiga orang yang bertahan masih di dalam lokal, dan aku salah satunya!
Aku masih bingung, dan lonceng tetap berdentang. Kutatap lembar jawabanku. Penuh. Padat. Berjejal dengan coretan artistik, kayak efek asap hitam bom. Ah, nggak pa-pa. Setidaknya antarmuka kertasnya penuh, walaupun salah. Kali aja pengoreksinya ngira begini: Oh, kepenuhan ya. Mungkin padahal dia ingin nulis jawaban yang benarnya tapi nggak muat lagi. Saya kasih 9 saja, sebagai upah nulis.
Aku bergegas keluar lokal, coz perut keroncongan. Beberapa menit kemudian aku masih mondar-mandir di muka di sepanjang lokal. Bukannya mau gaya-gaya sih atau sok gimana gitu, tapi suer sandalku banyak fansnya. Terpaksa aku pulang bersama sandal gabin hitam yang mengharukan, sampai-sampai pemiliknya aja teralu malu melihatnya.
Di kantin…….
Aku berduka….. karena lontong habis. Sebenarya di kelas aku nggak hanya mikirin نائب الفاعل, namun lontong juga. Lagi-lagi terpaksa makan wadai yang….. Mau gimana lagi, keduluan orang.

Ulangan jam kedua. Di lokal……..
Lughatul Arabiyyah. Seperti yang sudah kukatakan nggak terlalu sulit. Tapi ada gangguan datang dari orang sebelah. Ini benar-benar orang sebelah lho. Yang duduk di sebelahku, di seberang jalan itu. Dia tuh nyontek agresif luar biasa. Patut diancungi jempol. Tapi tetap aja ketahuan pengawasnya. Biasanya kalau pengawas yang satu ini nemuin ada yang nyontek, nggak langsung beliau keluarkan, tapi tempat duduk pelakunya saja yang dipindah ke tempat duduk pengawas. Benar-benar hal yang memalukan. Apalagi pas ada ustadz-ustadz yang keliling lokal, bah… bakal jadi tontonan dah. Dan sialnya lagi misalnya kebetulan satu di antara ustadz yang keliling itu adalah wali kelas sendiri.
Nah yang jadi pertanyaan di sini, apakah orang sebelah ini juga akan mengalami nasib yang sama seperti pendahulunya? Ternyata tidak, dia dibiarkan duduk manis di alamnya. Malah pengawas yang mulia ini mempersilahkan aku yang duduk di kursi pengawas!
“Biar aman,” dalih beliau.
Aman-aman tapi malu, pikirku.
Lagi-lagi terpaksa (kenapa pemeran utama mulu yang terpaksa, kayak di sinetron?) aku duduk di kursi pengawas. Malu? Pastinya, iya. Apalagi ustadz pemegang Lughatul Arabiyyah datang.
“Di sini kurang kursinya kah?” tanya beliau kada tahu-tahu muha. Kubalas aja, aku juga kada tahu-tahu muha.
Inilah ulangan yang benar-benar ujian.[]

Ulangan Terlaknat

Pyuuuu…..h…. Sembilan hari yang melelahkan usai juga, ulangan akhir semester.

Aku rasa ulangan kali ini adalah ulanganku yang paling laknat selama ini! Nggak, aku nggak bunuh teman karena nggak dikasih contekan, kok. Hanya saja ulangan kali ini aku suka nanya petunjuk (iya…iya… maksudku nyontek).

Jauh-jauh hari aku ini punya pantangan nyontek, kecuali pas terdesak (sama ae lah…). Aku ini anak pondokan klasik-moderen, jadi sekolah dibagi dua, pagi agama, sedangakan siang untuk umum. Nah yang menjadi benang merah di sini adalah kalo agama aku cukup jago, kalo umum lumayan bego. Dengan kata lain pas ulangan pondok, aku nggak bakalan jadi jerapah. Tapi jika pas ulangan umum, bah kemampuanku melebihi intelijen! (Ngorek informasinya)

Aku jadi teringat ulangan tempo doeloe (duh… sok kakek-kakek), aku benar-benar coo l (ini dalam kasus ulangan agama), soalnya aku benar-benar jenius. Tapi pas ada yang nanya jawaban, aku beri. Minta contekan nggak, ngasih iya. Namun seiring berlalunya zaman, semuanya tinggal kenangan.

Aku masih ingat benar, ulangan semester ganjil lalu aku berusaha mati-matian mempertahankan keperawanan nilaiku. Benar, aku nggak nyontek satu kali pun. Saking sok sucinya, aku merasa sangat hina dikala bingung akan suatu pertanyaan, eh… tau-tau (siapa ya? Aku lupa) dibelakang bisik-bisik (aku dengar) sama teman seberangnya:………………………:ان النبي صلي الله ڠليهم وسلم قال Itu dia jawabannya. Aku jadi bingung musti senang atau sedih? Tapi intinya waktu itu jawabannya langsung kutulis, soalnya mubazir kalau terbuang sia-sia (maksa banget!)

Sekarang? Hah……. Entah berapa jumlah jawaban ilegal yang nangkring di lembar jawabanku. Meskipun aku rangking satu, itu takkan membuatku bangga sepenuhnya (terlebih si Rainbow minta ditraktir ke warnet jika aku rangking wahid, hu… hu…64237097 kali).

Akhirul kalam, semoga aku diampuni-Nya. Dan juga si Rainbow, nanti ke warnet jangan lama-lama (kayak optimis rangking satu aja) dan kudo’akan semoga kau lupa dengan nadzar ini.