Rabu, 30 Desember 2009

Akhir dari Perburuan

Selama beberapa hari ini akumelakukan perburuan. Yah, mumpung lagi liburan yang berarti aku bisa leluasa ke warnet, tidak terkurung di dalam pondok. Ya, tempatku berburu memang tidak di terminal atau di Pantai Jodoh, apalagi di hutan, tapi aku berburu di warnet, dalam dunia maya.

Terhitung mulai dari hari ahad, yang kunamai sebagai 'Hari F5' (baca potingan hari F5) hingga hari ini, Kamis 31 Des. di penghujung tahun 2009, aku bertekad mengakhiri aksi perburuan ini.

Sebetulnya sewaktu hari F5 aku sudah mendapatkan buruanku di warnet Oby,net, yaitu film kambing jantan full movie yang terbagi dalam 15 file. Semuanya sikses kudonlot, tapi sayang beribu sayang, sebelum file donlotan itu ku-send to Flashdisk listriknya padam. Zeeep... dalam sekejap monitor dan kawan-kawan mati total.

Aku tak menyerah, sebab aku adalah laki-laki. Di lain waktu, Selasa 29 Des. 09 aku berburu lagi. Kali ini di eEngsty.net. Dan sukses semua file kambing jantan dalam genggamanku (baca:Flashdisk). Semua data di folder donlotan sudah ku-check, dan ternyata betul semua sudah ku-send to.

Sesampainya di rumah ku buka flashdiskku. Baik-baik saja. Kubuka folder donlotan yang kunamau Ilham. Nggak terjadi apa-apa. Kuputar satu file dari kambing jantan, bisa aja. Setelah itu ku-rename nama-nama file-nya, biar mudah ngenalinya gitu,

Setelah keluar dari folder Ilham, dan ngerapiin Folder lainnya, aku balik lagi ke folder Ilham. Dan di situ aku mendapati keanehan tersendiri. Kok, icon foldernya berubah ya... Bentuknya sih masih folder icon pada umumnya, tapi agak kecilan dan seperti dilapisi oleh kaca persegi sama sisi di permukaannya. Kucoba doubleclick. Tiktik... Kok nggak kebuka ya... Ah, mungkin kurang cepat. Lagi, tiktik... Masih nggak kebuka. Lho ada apa ini. Ato touchpad-nya rusak ya? A, nggak mungkin, slelect aja masih bisa.

Kucoba lagi klik sekali di folder Ilham, trus di-ENTER. Hah, nggak bisa dibuka juga ada apa ini. Saat itu aku deg-degan setengah hidup. Kambing jantan kan film yang sangat ingin aku tonton selama ini. Dengar-dengar sih, di bioskop kalimantan filmnya nggak diputar, cuma di pulau jawa doang. Apalagi CD or DVD-nyam, nggak ada yang jual, mau nggak mau musti donlot.

Saat-saat aku kebingungan, tiba-tiba icon folder Ilham tadi berubah lagi, metamorfosis yang lebih mengenaskan. Iconnya jadi berbentuk selembar kertas kosong (icon di windows Vista apabila file tersebut tidak bisa dibuka dengan aplikasi yang tersedia di com.). Tapi bukannya buka folder itu cuma pakai explorer, ini malah nggak bisa dibuka, barang setengah (emang ada setengah)

Aku mulai curiga ini pekerjaan siapa. Aku gerakan cursor ke folder Ilham tadi dan ternyata benar, ukuran file tersebut juga ikut berubah yang asalnya ratusan MB, jadi 4 KB doang! Sial, untuk sementara aku menduga mungkin ini perbuatan virus atau semacamnya.

Kemudian di lain kesempatan. Aku berburu lagi di warnet yang baru kukenal. Tapi di situ loadingnya bikin bete. Jadilah aku donlotannya cuma 3 file. Nggak papa lumayan, bisa nyicil.

Besoknya aku lunasi cicilanku dengan sempurna di Engsty.net, yaitu hari ini, hari Kamis 31 Desember di penghujung tahun 2009, aku akhiri perburuan film kambing jantan full movie dengan happy ending. Yeah...!

Senin, 28 Desember 2009

Ujian Kelabu

Monday, 28 Desember 2009

Hari ini ulangan terakhir. Ulangannya bangai! Bayangin semua soal yang keluar lepas dari bacaanku. Ceritanya kan kemarin pas hari ahad habis ulangan aku refresh dulu, aku manamainya hari F5, buat yang doyan ngecom pasti tahu. Biasalah jalan-jalan hunting warnet(baca postingan sebelumnya). (Flashback bentar)Makanya pas malamnya aku capek banget. Baru juga pukul 10 malam aku udah ngorok(bayi banget ya). Sebelum tidur tuh aku cuman baca-baca kitab hadist dikitan aja.

Pas pukul 3 dini hari aku kebangun. Baca dan hapal satu hadist, trus tidur lagi, kebangun lagi baca dan hapal satu lagi, trus tidur lagi, baca dan hapal atu lagi trus tidur lagi. Selalu begitu sampai kau hapal delapan hadist, pas banget bab yang diujikan kan delapan bab, jadi tiap bab diwakili oleh satu hadist. Biasanya pertanyaannya mudah: اذكرحديثامن باب تحريم الظلم! (sebutkan satu hadist dari bab haramnya berbuat dzolim) misalnya, yah tinggal tulis satu hadist selese. Atau: تمم الحديث الآتي! (sempurnakan hadist yang akan datang, maksudnya isi yang bolong-bolongnya) biasanya hadist yang disempurnakan itu juga hadist yang pertama. Jadi intinya kalau soalnya nggak kayak tadi, tamatlah aku.

Esok harinya, soal bpun dibagi. Sebelum melihat soal aku berdo’a. aku baca soal pertama. Soal ujian di sini tuh rata-rata cuman sepuluhan, tapi jangan anggap remeh pertanyaannya dalam format essai, satu soal aja jawabannya minta ampun cerewetnya.

Soal-soalnya sih aku rada-rada lupa gitu, yah kurang lebih beginilah:

Soal pertama. Ah, disuruh menyempurnakan hadist, tapi bukan hadist yang pertama. Perasaan ini sih hadist kedua tapi aku nggak hapal juga, cuman kebaca lewat doang. Yah, nggak papa cuman kecolongan satu soal, masih banyak soal yang lainnya yang menanti kejeniusan aku.

Soal kedua. Hah, menyempurnkan hadist lagi, dan lagi-lagi bukan hadist pertama yang kuhapal. Bahkan lebih parah dari soal peratama, kali ini aku malah nggak tahu kalau hadist di soal kedua ini ada di bahan ulangan. Aku agak sedikit gelisah. Tapi, ah, nggak papa, cuman kecolongan dua soal masih ada banyak soal di bawahnya lagi. Aku pun berlanjut ke pertanyaan berikuktnya.

Soal ketiga. Lho yang ditanyakan maksud dari suatu istilah yang ada di catatan kaki, biasanya letaknya di bagian bawah halaman, tulisannya kecil-kecil dan imut-imut. Biasanya tiap kali ulangan atau ujian hadist aku pasti bakal ngapalin catatan kaki. Nggak tau kenapa ulangan kali ini aku lupa ngapalnya. Udah kecolongan tiga nih. Wajahku agak berubah. Sebelumnya ini nggak pernah terjadi. Biasanya kalau nggak dapat itu di pertanyaan yang akhir-akhir. Kalau yang pertama yang mudah-mudah dan soal berikuktnya makin sulit aja. Ini baru pertanyaan yang awal-awal udah nggak dapat, apalagi seterusnya. Biar bagaimana pun aku harus tetap optimis. Yak, lanjut ke soal berikutya.

Soal keempat. Aku udah nggak tau harus berbuat apa-apa. Lagi-lagi lepas dari bacaanku. Aku mulai lepas kendali. Perasaan, aku pengen makan yang buat nih soal kurang belajar.

Soal kelima. Aku kalut. Nggak tau. Apalagi muka belakang bisik-bisik: Ham, nomor 5. Ham, nomor7.ham, nomor 2. Arrggghhh….. Manyuk-manyuk.

Soal keenam dan seterusnya aku udah nggak sanggup lagi mengenangnya, itu terlalu menyakitkan *menyeka ingus*. Kecuali soal kesepuluh, ada titik terang dikiiiiiiit bangeeeeeet.

Setelah menganalisis per mata pelajaran jawaban selama ulangan kali, aku mustahil menjadi rangking satu atau masuk tiga besar bahkan sepuluh besar. Buktinya pas ngoreksi hasil ulangan usul fiqh dah qowaid fiqh (aku n 2pren dapat kepercayaan ngoreksi. Masing-masih aku mendapat nilai 7 dan 6. Sedangkan yang lain rata-rata 8 dan 9 bahkan ada yang sampai nilai sempurna.

Mungkin sudah saatnya aku nggak rangking lagi. Jujur selama ini rangking satu nggak membuatku bangga sedikit pun kecuali pas bagi rapor. Bukan maksdunya aku sombong atau meremehkan rangking satu, tapi di situ aku benar-benar nggak nemuin kepuasan batin. Terlebih ortu, pas tau anaknya rangking satu, dia cuman ngucap Alhamdulillah, dan entah mengapa di kuping terdengar hambar.

Sangat berbeda saat aku SD dulu. Aku nggak pernah rangking. Tau-tau pas ujian kelulusan aku rangking 5. Bah, aku merasa telah mengalahkan A. Einsten. Dan lagi pas awal-awal masuk Al Falah waktu di tingakat tajhizi, semester kedua aku mendapat rangking 3. Aku yang nggak terbiasa rangking ini, merasakan suatu yang sulit dijelasin. Rasa gimana gitu.

Karirku di dunia rangking terbolak-bolik di tiga besar. Yang paling sering di 1 dan di 2. Mungkin karena sudah terbiasa rangking aku tidak meraskan apa-apa lagi. Seperti kebal gitu. Allah telah mengatur segalanya dan dia selalu memilihkan yang terbaik. Oleh karena itu aku beranggapan ada baiknya aku mampir lagi di urutan ke 13, ke 20 atau berapalah, asal jangan 10 dan 3 besar, biar ntar jika aku ada kesempatan numpang di peringkat 1 lagi, aku bisa merasakan rasa yang telah hilang itu.

07.59AM

Hari F5

Sunday, 27 Des. 09
Hari habis ulangan aku diajak ke Banjarbaru. Ya udah aku sanggupi aja. Sekalian refreshing. Biasanya kalau refresh di com tuh tekan F5, jadi aku beri nama aja hari adalah hari F5.
Aku masuk warnet OBY.net dekat UNLAM. wiuhhh.... internetnya cepat juga. Bahkan aku sampai bingung mau donlot apa lagi. Clip Sherina udah. Wannabe udah. Kambing jantan full movie juga udah. Game-game yang asik udah. nge-FB ya juga udah. Apalagi nge-blog juga udah. Menjarah di com warnet juga udah. Ah... senengnya kalau semua warnet secepat ini. Dan aku pun nunggu donlotan game yang bentar lagi selese, abis tu pindahin data donlotan ke plasdisk. Yap semua yang perlu beres.
Pas lagi nunggu donlotan tiba-tiba terjadi sesuatu di luar kepalaku (kalau dalam kepala, itu namanya sakit kepala). Sesuatu yang mengerikan sepanjang sejarah warnet, menakutkan seluruh warneter seluruh dunia, bahkan lebih menakutkan ketimbang internet yang lamban kayak jalannya semut pincang.
Arrefhdgfhdjfjlggggghhhh.... Listrik padam. Hueeekkk...(lho, kok pake acara muah?) semua data yang kudonlot tadi belum kupindah ke Fd-ku. Masih di data D!
Intinya secepat apapun warnet kalau nggak ada listrik seperti lampu nggak ada listirknya, yaitu MATOT (mati total).
PS: Aku sih ke depannya berharap kalau setiap warnet tuh punya jenset atau UPS yang bisa nyimpan listik barang lima menit, biar hal seperti ini nggak terjadi lagi. (Salah aku juga sih naro donlotannya nggak ke Fd.).

Kamis, 24 Desember 2009

Wednesday, 16 Des. 2009

Aku takut bila harus kehilangannya lagi. Benar-benar aku tak bisa membayangkan hal itu terjadi lagi. Aku bingung bakal mau apa.
Berkali-kali aku telah kehilangan dia. Padahal dia yang selalu menemaniku saat aku membutuhkannya. Dia selalu setia menungguku. Tapi aku nggak selalu bisa menunggui dia , soalnya dia senantiasa di depan pintu. Aku tak bisa menghitung atau mengira-ngira lagi, berapa banyak aku telah kehilangannya. Sungguh menyakitkan, apa lagi pas mama nanya,”Sudah sandal keberapa yang kamu hilangkan, Nak?”
Aku betul-betul lupa berapa sandal yang telah kuhilangkan yau. Yang jelas sudah mencapai puluhan pasang. Sebelum sandal itu tipis pasti keburu hilang. Malang benget yau?
Aku kan mondok di Ponpes Al Falah Banjarbaru. Di pesantren ini tuh para santrinya pada demam bola gitu. Jadi kalau pas lagi jalan kaki tuh nggak bisa diam. Ada aja yang ditendang-tendang. Keganasan kaki santri ini bis a memakan korban berupa batu, kucing lagi nyantai tiduran ato yang pas lagi pup*cyaak…* (suatu suara misterius di alas kaki, hueeek….). Tapi yang paling bikin kesal malah sandalku juga ikut menjadi korban kebiadaban itu.
Kalau nggak teliti dalam meletakkan sandal, wah bahaya tuh. Aku sering naroh sandal di pelataran asrama, pas pengen makai, lho sandalnya tinggal satu. Mana satunya lagi?
Pernah juga aku kehilangan sandal sepulang dari lab. Bahasa. Waktu itu aku menghabiskan sore di situ, soalnya nggak ada kerjaan. Mending nonton film di lab. Yup, aku nyelinap ke lab tanpa seizin dewan guru. Kan kunci lab-nya kalau nggak di aku yah, di teman lainnya, Staf OSIS gitu loh…
Pas hampir magrib aku pengen pulang dan baru sadar kalau sandalku udah nggak ada di tempatnya, huhu… dua-duanya pula. Ini pasti ada yang ngambil dengan sengaja. Belakangan aku liat lagi sandalku yang hilang itu, tapi cuman sebelah doang. Malas ah ngambilnya. Beli lagi yang baru.
Ada juga pas tengah hari aku naro sandal di pelataran asrama secara sembarangan (biasanya aku naronya di bawah pohon kecil di samping pelataran). Aku tidur siang dan bangunnya pukul enam sore (aku kan staf OSIS, jadi nggak kena sanksi kalau nggak sholat berjama’ah). Pas waktu mo make sandal ambil air wudhu, bah, sandalnya tinggal sebelah.
Aku langsung memicing tajam ke arah got. Pasti masuk ke situ dan dibawa arus hingga ke tempat pembuang akhir yang letaknya di area terbuang di belakang Ponpes. Malas ah nyarinya. Beli lagi. Terus begitu. Hilang mulu.
Hingga akhirnya, untuk ke sekian kalinya aku nelpon ortu minta dibelikan sandal, coz ortuku mo mampir ke pondokanku dekat-dekat ini. Jadilah pada tanggal 12 malam minggu aku dibawakan sandal volcon hitam. Aku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama dan aku takkan membiarkan sandal ini berakhir tragis seperti pendahulunya. Karena sandal ini hitam maka kuberi nama Aswadi
Tapi bayang-bayang kehilangan terus menghantuiku. Malah sudah merabah ke dalam alam mimpiku. Terakhir, hingga postingan ini di pajang, aku sudah mimpi dua kali. Itu belum termasuk halusinasi yang seolah-olah aku kehilangan si Aswad.
Mimpi pertama: Waktu itu aku baru bangun tidur nguap sana nguap sini. Nggak tau kenapa aku mo keluar asrama. Pas mo keluar AHHHHRRGGGHHHHAAHGRRR…….!!! Si Aswad hilang, tinggal sebelah kirinya saja (kiri ato kanan yau, ah pokoknya hilang sebelah!) saat itu juga aku langsung terbangun dari mimpi burukku (kali ini bangun beneran). Hah…hah… tenyata hanya mimipi, sukur deh.
MImpi kedua: Baru malam tadi.Kali ini masih dalam mimpi (ya iyalah namanya juga mimpi). Saat itu aku lagi di aula. Tiba-tiba terjadi suatu huru-hara karena berebut sandal. Aku pun ambil peran dalam huru-hara itu. Tapi aku nggak nemu sandalku. AAAARRGGHHHG….!!! Aku ribut nyari sandalku sambil nyusup-nyusup di antara kaki-kaki orang. Ternyata aku nggak sendirian, temanku yang namanya Azmie juga kehilangan sandalnya.
Lalu secara ajib aku langsung berada di atas trotoar dari kayu yang bercelah. Di antara celahnya aku melihat si Aswad ada di bawah situ.
“Ah, sandalku,” teriakku. Tapi aku nggak bisa ngambilnya. Tanganku nggak bisa masuk ke celah yang kecil itu. Tanpa disadari Nikita Willy, aku ngebenturin kepalaku yang mahal ini ke trotoar itu. Kali aja kayunya patah. Ternyata nggak tuh. Sampai akhirnya aku terbangun. Aku pastikan sandalku masih ada di tempatnya. Oh, masih ada.
Aku sudah bertekad bakal ngejaga Aswad baik-baik. Bahkan tekadku sudah bulat Aswad ini akan kupertahankan hingga hari wisuda nanti (beberapa bulan lagi ujian, trus wwisuda deh). Aku bakal memproteksinya dari segala kemungkinan hilang. Doakan aja moga-moga hubunganku dengan si Aswad tetep rukun dan dapat berkah. Amien.[]

Ilham
Asrama Zaid, 16 Des. 09
Di siang yang mendung

Thursday,10 Des. 09

Thursday,10 Des. 09
Tanggal 10 Desember 2009 bertepatan hari kamis di penghujung semester ganjil, waktu jam pelajaran kedua, Ustadz Zain absen!
Tidak hadirnya Ust. Zain dalam kelas adalah suatu kelangkaan sekaligus kegirangan tersendiri bagi kami- kami, pecinta jam kosong. Dengan senang hati kami mengisi jam-jam kosong dengan kegiatan yang hebat-hebat.
Kalo lagi ingat kebodohanku selama ini, aku jadi ingin buka-buka kitab yang tulisannya arab gundul (nggak ada barisnya). Lumayan, buat tambah-tambah ilmu. Sayanganya moment seperti ini nggak berlangsung lama, sebab yang jadi pesoalan aku nggak lihai baca kitab macam itu.
Maka demi menuntaskan dahaga yang keterlaluan atas ilmu (yihaa!) aku ke perpus. Tapi yang ada di situ aku malah larut liat-liat gambar di ensiklopedi warna sambil adem-ademan di bawah kipas angin.
Lain lagi ceritanya ketika jam kosong, eh… kebetulan pas bakat lagi mood-moodnya. Di antara sekian banyak bakat yang kudalami adalah bakat ngerumpi. Topiknya beragam . Dari ngomongin orang-orang jawa kayak Suryadi anaknya Pak Bugimin sampai memikirkan buah rambutan Ust. Hamdi*Dengan mata bersinar menatap rambutan yang telah merah*. Yang paling sering sih saling ngeceritain komik: Conan, Naruto dan One Piece, yang sebenarnya sudah sama-sama dibaca.
Dan masih banyak lagi tindakan hebat yang bisa dilakukan saat jam kosong. Satu hal yang rancak banar aku lakuin pada jam kosong, dan ini adalahsebuah tindakan atas keikhlasan dan tingginya rasa keadilan, suatu revolusioner, menentang batas-batas kemapanan wajar: aku tidur di kelas.
Aku termasuk orang yang kompatibel di bidang pose tidur. Makanya itu selain aku tidur di asrama, aku juga tidur di tempat-tempat lainnya. Malah aku menobatkan kelas sebagai kama tidur kedua.
Suatu hariaku ngomong-ngomong sama Suryadi.
Suryadi : Ham, ntar bikin aja buku tentang tidur, kayaknya lo bakat bener.
AKu : He-eh, kapan-kapan aku ngarang buku seni tidur beserta filosofisnya.
PS: Hingga kini belum terlaksana karena beberapa kendala.

Thinking

Respon otak manusia dalam mengahadapi suatu kasus tidak bermacam-macam, cuma ada dua. Positif thinking dan negatif thinking.
Apakah positif thinking atau malah negatif thinking yang keluar sebagai pemenang dalam merespon dari suatu problema? Itu tergantung pola pikir dan sudut pandang orang yang bersangkutan. Meskipun kasus yang sama dihadapi oleh dua orang yang berbeda. Bukan berarti respon dari dua orang ini juga ikut sama. Berikut ilustrasinya.
Sebut saja orang ini dengan panggilan Ilham. Dia sedang jalan-jalan bersama CBR-nya. Tiba-tiba di suatu jalan ban motor Ilham ini bocor, dan berhenti tepat di depan sebuah bengkel.
“Jarang-jarang ban CBR-gue bocor. Eh, giliran bocor pas dekat bengkel lagi. Alhamdulillah, nggak jauh-jauh gue nyari bengkel.”
Inilah makhluk yang berpola pikir positif thinking.
Lain halnya dengan Azmie. Walaupun mengalami kesialan yang sama dengan Ilham Positif thinking, tapi saat ban Astrea Legenda-nya Azmie bocor dan dia menyadari pas di sampingnya ada bengkel, bah, matanya memicing bak elang bernafsu memangsa anak ayam, sangat mencurigai.
“Pasti jalan di sekitar sini banyak belingnya. Siapa lagi yang bikin ulah kalau bukan pemilik nih bengkel! Biar orang ke bengkelnya kalee… . Cih, nggak sudi gue nambal di bengkel butut gini.Ntar dianya kesenangan dapat pelanggan dari tipu muslihatnya lagi.”
Azmie pun terseok-seok menuntun motor bututnya ke bengkel lain, yang dia dapatkan setelah berjalan 10 KM!
Sangat kontras perbedari respon keduanya, padahal menghadapi kasus yang tidak berbeda. Ini menunjukkan bahwa indikasi dari positif atau negatif thinking seseorang itu berasal dari cara sudut pandang orang itu sendiri dalam mencerna peristiwa yang dialaminya atau di sekitarnya. Sedangkan peristiwa hanya sebagai pemancing respon tersebut. Apapun peristiwanya, sekalipun itu baik,di mata seseorang yang bersudut pandang negatif, hal itu akan menjadi luar biasa busuknya.
Sekarang tinggal kita sendiri yang meginginkan sudut pandang yang macam apa. Apakah ingin melihat sesuatu yang indah melulu atau sebaliknya?

Ilham Wele
Asrama Zaid, 15 December 2009
Sore Yang mendung

Kamis, 29 Oktober 2009

Ngarai Garea

Narnia duduk di closed toilet umum. Matanya masih menyisakan sedikit air, karena dia baru saja muntah. Dia buka screen netbook di pangkuannya, mengawali googling dengan keyworld “ngarai tertinggi”.

Dari sekian banyak yang ditawarkan google, Narnia memilih satu ngarai yang dia yakini mempunyai kapabilitas dapat memuaskan keinginan terakhirnya. Ujung bibirnya ditarik senyum. Sayang, senyumnya tak semanis dahulu. Hambar dan getir, seolah menemukan sesuatu yang mengerikan namun harus diterimanya tanpa toleransi.

*****

Kedatangan Narnia di bandara Tarbar, Freedom City disambut oleh kebekuan. Salju di mana-mana. Dingin, seperti hatinya.

Setelah keluar dari airport, dia langsung membuka pintu taksi yang kebetulan baru menurunkan penumpang. Darisuara benturan pintu, supir di belakang kemudi menyadari keberadaan Narnia. Supir setengah baya itu menegok melalui spion tengah.

“Antarkan saya ke Ngarai Garea,” pinta Narnia.

Sontak si supir menoleh ke belakang. Dia dapati di jok belakang taksinya seorang gadis 19 tahunan dengan wajah pucat, mengenakan mentel berbulu dan memeluk tas punggung kecil.

“Anda yakin mau ke sana?” Sang supir memastikan. Sepertinya dia sudah dapat menduga maksud Narnia, hanya dengan mendengar tempat tujuannya.

Mata Narnia memanas dan kristal di situ sedikit meleleh ke pipinya.

“Yah…,” jawab Narnia mirip desisan, hampir tak terdengar. Si supir jadi tak enak hati.

“Eh, maaf. Bukannya saya bermaksud lancang, tapi… ng…tapi anu, saya segera antarkan ke sana,”ucapnya gelagapan dan langsung meraih setir.

Taksi cuma mengantarkan sampai muara jalan berkelok-kelok, lantaran lajur tertututp salju yang cukup tinggi. Tidak ada motor pembersih salju, karena anggapan: mana ada yang ingin rekreasi ke tempat ini pada klimaks musim dingin tahunan.

Narnia sedikit pun tidak mewarisi darah Kaum Eskimo. Pun mantel berbulunya gagal menjaga kehangatan tubuh. Dia ambil dari dalam tas punggungnya coklat hangat dalam kemasan. Tak sia-sia menyiapkan ini.

Bagi sebagian orang ini memang terdengar gila, abnormal. Namun ini adalah logika oleh sebagian orang, termasuk logikanya Narnia. Orang-orang seperti ini adalah pemilik keinginan mati yang rumit dan penuh tantangan. Semakin rumit proses menuju kematian, malah semakin meyakinkan mereka untuk segera mengakhiri hidup yang penuh kerumitan ini. Ngarai Garea adalah puncak kerumitan dan tantangan, kengerian yang mencekam. Dengan kata lain Narnia tidak akan membiarkan dirinya mati sebelum keinginan terakhirnya terpenuhi di tempat keramat itu.

Namun siapa sangka badai salju mempersunting distrik Ngarai Garea. Hanya menyisakan satu meter jarak pandang. Putih bergulung-gulung. Narnia merasakan kepalanya seperti diapit tangan raksasa. Salju di antara dua kakinya ternoda oleh darah. Dengan gemetar Narnia mengusap lubang hidungnya. Dengan pandangan yang hampir grayscale, dia yakin telapak tangannya berlumur darah segar. Sementara dari jarak 3 meteran, pupilnya menangkap sesosok yang bergerak, menghampirinya! Narnia takut sosok intimidasi itu, ingin lari. Tapi, hantu salju tega merebut kesadarannya. Buram. Kelam.

*****

Kesan awal kepulihan dari mati surinya adalah keprihatinan. Narnia menemukan dirinya di satu bangunan yang hampir tidak pantas dikatakan gubuk. Hanya rangkaian kayu yang dipaku sembarang. Banyak celah di sana-sini, sehingga memudahkan angin menyusup semaunya.

Narnia bermaksud bangkit dari rebahnya, namun kepalanya telah seberat gunung. Dari matanya, benda apa pun di hadapannya berputar-putar.

“Jangan banyak bergerak dulu. Kamu sedang di rumah ibu. Di sini aman,”ucap wanita setengah baya tanpa ditanya. Narnia baru sadar ada seseorang di sampingnya. Bukannya tenang, malah membuatnya makin terlihat gelisah. Hampir saja tadi dia berteriak saat melihat wajah ibu itu. Kulit mukanya hingga leher melepuh, bahkan di beberapa titik ada borok yang masih lembab. Buru-buru Narnia mengalihkan pandang , khawatir membuatnya tersinggung. Lagi pula perutnya mulai mual.

Karia, wanita itu mengulurkan air yang tertuang dalam tempurung fodca (semacam buah kelapa). “Minumlah air ini,” tawarnya.

Agak ragu Narnia menerimanya. Setelah fodca itu berpindah kegenggamannya, dia sempat menatap cairan di dalamnya. Bening. Membiaskan wajah bimbangnya. Mata Karia terlihat bersahabat saat Narnia menubrukkan pandang padanya, meminta kepastian.

Kelihatannya wanita ini orang baik-baik. Seandainya punya niat jahat, barangkali sudah dilakukannya dari tadi, waktu aku pingsan, pikir Narnia.

Awal persetubuhan lidah dan air bening itu, sifat wajah Narnia berubah kecut.

“Rasanya memang sedikit pahit, tapi penyembuhannya cepat. Dan ramuan ini tidak memilikiefek samping seperti obat bermerek kebanyakan. Asli dari Daun Slaktif yang tumbuh saat musim panas,” jelas Karia ramah. Narnia memaksa senyum atas keramahan Narnia.

“Kenapa saya bisa ada di sini, Bu,?”

Karia menunjuk ke suatu arah. Narnia mengikuti tunjukan Karia yang gemetaran. Berujung ke sosok anak laki-laki seumurannya. Anak bertubuh besar itu memotong ranting kering dan dilemparkannya ke perapian. Dia bertepuk tangan kegirangan, seolah telah melakukan perubahan yang besar kepada dunia.

“Itu Random, putra ibu. Sewaktu pulang mencari ranting dekat rumah dia menemukan kamu tergeletak tak sadarkan diri. Semenjak itu kamu pingsan selama dua hari dua malam. Sukurlah sekarang kamu sudah siuman.”

Merasa diperhatikan Random menoleh dan menyadari gadis yang ditolongnya sudah sadar. Dia memburu ke arah Narnia sekaligus dengan cepat merebut tangan Narnia dan mengguncangnya. Mulutnya bergumam tak jelas. Narnia kewalahan menahan guncangan yang memusingkannya.

Karia mencubit ringan lengan putranya. “Random, jangan nakal. Dia belum sembuh total.”

Random menghentikan tingkahnya. Mukanya sok cemberut ke ibunya. Tapi berubah terkekeh konyol sambil manggut-manggut ketika beralih memandang Narnia. Tatapannya memang tertuju ke Narnia, tapi terawangnya menembus wajah Narnia, mendobrak dinding gubuk, menerobos salju, hingga ke negeri antah berantah. Seperti melihat dunia lain. Aneh.

Narnia heran dan sempat menduga-duga. Karia menangkap hal demikian.

“Jangan takut, dia anak yang baik. Hanya saja dia mempunyai keunikan yang tidak dimiliki kebanyakan orang,” suara Karia tulus, namun menyisakan beban dalam kalimatnya.

*****

Di tengah malam yang tenang, Narnia keluar dari gubuk Karia. Baru beberapa langkah, dia berbalik mengahadap gubuk yang mirip kandang ayam itu. Itulah satu-satunya kediaman di sini. Tak ada yang lain. Hanya bentangan salju. Cuma gunungan beku. Menjadi yang terbuang. Ah, Karia yang hidupnya menukik.

Kali ini Narnia tidak hanya berbela sungkawa atas kemalangannya sendiri. Tapi terbagi kepada seorang wanita buruk rupa di gubuk yang condong ke kiri itu. Siang tadi Karia memperlihatkan isi kotak pandora, aliran hidupnya kepada Narnia.

Seorang yang malang adalah Karia yang dihantui suara resleting oleh ayah tirinya sendiri sepulang mabuk tengah malam. Gendang telinganya serasa ditumbuk lenguhan birahi binatang. Beberapa kali seperti ini. Berulang-ulang. Dan satu kali dia telah melarang jabang bayi mengintip dunia atas intimidasi setan dalam diri ayah tirinya.

Seandainya Karia mengadu ke ibunya yang seperti mayat hidup, terbujur di pembaringan, itu sama saja dia menikam jantung ibunya sendiri. Jantung orang tercinta itu terlanjur lemah.

Ibunya hilang ditelan bumi, pun sifat komunikasi Karia raib karena merasa dirinya adalah perwujudan tabu. Lumer seluruh rancangan gadis matang berumur 23 tahun dalam dirinya. Dia campakkan Loirano, tunangannya. Cicin tunangan dia kubur dalam perutnya. Tesis S2nya berlumut. Mulutnya bau.

Malangnya lagi, dia dijual ke rumah bordil oleh ayah tirinya itu seharga HP milik buruh kasar. Di tempat ini komunikasinya kembali berkat teman baru senasibnya. Mungkin karena senasib membuat sugesti saling keterbuakaan. Kendati demikian, tetap saja lokalisasi ini bukan surga baginya. Setiap malam dia diestafet dari hidung belang ke lelaki mesum lainnya. Menjijikkan.

Lokalisasi kebakaran. Kekacauan waktu itu dimanfaatkan Karia untuk melarikan diri. Dia jemput putranya, si kecil Random yang dititipkan kepada seorang wanita tua yang berhati emas dan angkat kaki dari Sagasa karena baginya pulau ini tidak amam lagi baginya.

Membuka lembar baru ternyata sulit bagi Karia dan putranya. Selain putranya jadi bulan-bulanan bocah-bocah seusianya karena dianggap idiot, Karia membawa oleh-oleh isitimewa dari tempat kerjanya dulu. Virus HIV. Pantas saja Karia selalu seperti menahan sakit yang suatu saat bisa saja menghentikan napasnya.karena hal itu tak ada yang menerima. Semua menolak keberadaan mereka.

Terpaksa Karia menyembunyikan keberadaannya dan Random diwilayah terbuang ini, tempat di mana orang-orang yang merasa terbuang dari kehidupan berakhir.

*****

Narnia masih terpaku menatap hampa ke gubuk yang berdencit apa bila ditiup angin. Napas salju memainkan rambutnya hingga menutupi bola mata yang sendu itu. Narnia berbalik arah, membelakangi gubuk. Dia mengepalkan tangan, memungut kekuatan.

“Aku datang ke sini bukan untuk meratapi kehidupan, melainkan untuk mengakhiri segala kerumitan ini,” bisiknya pada diri sendiri.

*****

Selama ini Narnia bersikap dingin dalam menempuh tempat persemayamannya. Pasti. Tetapi saat dia telah berdiri di bibir tebing, bersitatap dengan Ngarai Garea, tiba-tiba saja dia merasa bodoh. Bingung. Tegang. Tenggorokannya sakit menelan air yang macet di kerongkongannya.

“Benarkah ini yang terbaik?” Keragu-raguan menggeliat di hati kecilnya, bagian yang paling jujur dalam diri manusia. Matanya benar-benar terpejam. Apa yang tidak terlihat oleh pupil, dapat dilihat saat seperti ini. Terbayang suatu goresan yang lama-kelamaan utuh menjadi wajah lelaki yang mengaku sangat mencintai Narnia.

“Aku tidak akan meninggalkanmu. Apa pun yang terjadi.” Sungguh Gentleman tanpa diragukan.

Akan tetapi dalam sekejap mata, lelaki itu berubah menjadi banci pengecut.

“Enak saja! Baru satu kali, masa langsung positif. Pasti lo ada main sama yang lain. Udah ngaku saja. Nggak usah sok suci. Pokoknya bukan sama gue titik!”Elak Rasio ketika Narnia mengadu menuntut sikap jantannya. Narnia betul-betul menysesali semua ini. Namun semua ini terlanjur ada.

Bayangan semacam ini semakin mendorong Narnia ke mulut Ngarai Garea. Tangannya sudah merentang. Isapan udara terakhir memenuhi rongga dadanya. Dalam. Lembah di bawah sana menanti. Lembah yang misterius. Tak kelihatan dasarnya karena kabut salju yang bertumpuk.

Lagi-lagi hati kecilnya membawa keraguan,”Benarkah ini pilihan yang tepat?”

Kali ini Narnia mengidap penyakit aneh, yang biasa hinggap di jejaringan otak orang-orang seperti dia, para pemilik keinginan bunuh diri. Pengidap semacam ini bersikeras ingin bunuh diri, namun hati kecilnya, bagian paling jujur itu, ingin aksinya ini dihentikan.

Karena itulah ada yang memilih bunuh diri dengan cara terjun dari bangunan perkantoran saat jam kerja, saat orang ramai. Setidaknya satu dua orang melihatnya dan terjadilah kegemparan. Semakin gempar semakin menjadi-jadilah dia.

Ketika ada yang ingin menolongnya, dia malah sempat-sempatnya mengancam.

“Jangan ada yang mendekat! Atau aku loncat!”

Dialog seperti ini tidak akan meluncur dari orang yang benar-benar yakin dan siap bunuh diri. Seandainya seseoarang betul-betul ingin bunuh diri atas ego dan persetujuan hati kecilnya, yang dia perlukan cuma menyunggingkan senyum mencibir kepada penonton karena berusaha menyelamatkan hidupnya yang bagianya sendiri adalah sampah. Dan selanjutnya menjatuhkan diri dengan tenang.

Narnia termasuk bagian yang pertama, bunuh diri atas ego namun tanpa persetujuan hati kecil, yang biasanya diabaikan banyak orang. Untuk mencegah aksi ini dibutuhkan seorang manusia, siapa pun dia, asal bisa berteriak: Tunggu di situ! Aku akan menjemputmu.”

Tapi adakah orang yang diinginkan hati kecilnya itu, sementara dia di tengah gunung, berhawa beku, pukul empat dini hari, sendirian, tak ada yang tahu keberadaannya. kalau sudah begini dia tidak bisa menghentikan sendiri. Sepertinya ini memang benar-benar akhir.

Semakin gencar saja egonya mendorong Narnia ke dalam kubangan lembah. Di luar dugaan, yang diinginkan hati kecilnya hadir. Meskipun bukan dalam bentuk yang dapat diraba, melainkan berupa virtual. Hanya dirasakan Narnia seorang.

Tiba-tiba saja bayangan Karia menubruk Narnia yang condong ke lembah dari arah depan. Narnia terjajar ke belakang. Karia menumpuk bayangan si pengecut Rasio dengan rupa buruknya yang dihadiahkan oleh seorang wanita karena cemburu buta.

Tapi itu belum apa-apa. Ego Narnia angkuh sekali, dia hardirkan hardikan ayah Narnia yang mengintimidasi. Ayah yang seharusnya membela anaknya itu. Pengusiran, kemarahan ayahnya karena Narnia telah mencoreng nama baik keluarga, malah menendangnya ke lembah. Karia berbalik menyerang murka ayah Narnia dengan pemandangan di mana dia dilempari batu, diusir karena dianggap sebagai aib di di kampung mereka yang disucikan. Terbuang.

Ego Narnia geram, ingin membuktikan dia adalah pesakitan termiris se dunia. Dalam waktu yang singkat Narnia merasakan pandangan aneh dari teman-teman satu fakultasnya. Heran, merendahkan, kasihan, menuding. semuanya berkontaminasi hingga menghasilkan rasa yang perih tak terperi. Seperti luka basah yang ditaburi garam segunung.

“Gue kira anak baik-baik, ternyata…” suara Misstace, si biang gosip itu menyambung dengan berbisik,”iihhh..murahan.” Pelan tapi penuh penekanan. Intonasi semacam ini sangat menohok ulu hati Narnia.

Ego Narnia merasa menang. Sedang Karia tidak melakukan apa-apa, kecuali merangkul Random. Random yang mana lagi, kalau bukan anak yang sering salah mengartikan bahasa manusia itu. Kalau ditanya mau makan, dia malah senyum-senyum dengan gumaman yang tidak keruan. Dia mempunyai bahasa sendiri. Belum lagi tingkahnya yang terkadang tidak terkontrol, membuat Ibunya dimarahi orang-orang.

Berbeda dengan Karia, Narnia hanya sebatas mengandung janin, belum terlahir, tapi dia sudah merasa dirinya paling menyedihkan dan pantas untuk dibuang. Tapi pada kenyataannya beban Karia lebih berat darinya dan Karia masih memilih untuk hidup!

Bila seseorang memerhatikan dari satu pohon tak jauh dari Narnia, mungkin dia akan menyangka Narnia pasien yang kabur dari RSJ. Bukankah terlihat aneh orang waras jungkir-balik, maju-mudur sendiri di bibir tebing? Tapi itulah yang berlaku. Terjadi pergolakan dalam diri Narnia. Pergolakan ego untuk menerima bahwa masih banyak pesakitan yang lebih rumit hidupnya.

Saking beratnya pergolakan itu Narnia tersungkur. Dia menangis. Egonya merasa menjadi pecundang di hadapan Karia. Namun Narnia masih bingung, apakah dia masih berhak menentukan hari kematiannya? Apakah dia harus senang atau marah karena telah bertemu Karia? Apakah dia pantas bersorak “aku menang” atau “aku kalah”?

Semuanya masih membingungkan, sebab ini bukan pilihan sepele, bukan masalah menentukan lebih suka nasi goreng atau mie ayam. Tapi biar bagaimana pun, salju mendengar desis halus itu, hampir tidak terdengar, menyayat.

“Aku ingin menjadi Ibu yang baik.”[]

Sabtu, 12 September 2009

Bulan Malas

Dibuka dari malam 1 Ramadhan hingga satu bulan ke depan, umat islam bersuka cita. Banyak hal yang menyenangkan di bulan ini. Baik itu positif, maupun negatif, bahkan kombinasi positif-negatif.

Yang haus pengetahuan agama tentu bakal traveling ke masjid-masjid yang mengadakan ceramah shubuh. Pasangan kekasih yang kebetulan orang tuanya super protektif jadi punya alasan buka bareng teman di luar berkedok kencan yang indah. Sementara itu para ABG beramai-ramai ke masjid atau lebih tepatnya ke taman masjid. Bukan untuk shalat tarawih, justru ngobrol-ngobrol tidak ada juntrungannya, bahkan sampai pacaran. Naudzubillh.. Dua bagian akhir ini, bukan dimaksudkan pandangan sinis pada generasi-generasi muda kita, namun ini menyangkut fakta lapangan, kendati tidak mutlak.

Hari pertama dan hari terakhir, itulah dua hari pusaka. Jama’ah shalat tarawih memenuhi masjid pada dua hari itu. Spirit hari pertama karena tarawih perdana tahun ini. Sedangkan spirit hari terakhir karena sebagai penutup atau kenangan. Lantas, mana spirit hari-hari di antara keduanya?

Pada bulan Ramadhan, alih-alih memperbanyak ibadah, malah ritinitas harian yang biasanya dikerjakan jadi bolong-bolong. Bulan ini dijadikan timing untuk bermalasan. Lemas karena puasa biasanya dijadikan sebagai alasan. Agaknya alasan macam ini mengkambinghitamkan puasa. Seolah-olah puasa itu sebagai beban.

Seorang pakar yang mendalami organ pencernaan, dalam bahasa sederhana beliau memaparkan tentang pola makan yang sehat.

“Pola makan yang ideal itu makan 3 kali tiap harinya. Namun ada kalanya kita perlu mengistirahatkan organ pencernaan kita secara berkala tiap bulan atau tahun, dengan puasa misalnya,” jelas beliau.

Jika memandang dari sudut uraian tersebut di atas, sepertinya puasa tidak bisa diartikan sebagai beban , atau cuma sebatas kewajiban umat islam, namun lebih. Yakni “kebutuhan” seluruh manusia.

Selagi itu, di lain bilik ada pula yang kerjaannya tidur terus-terusan dengan dalih tidurnya orang puasa adalah ibadah. Dari pada terjaga dan melihat yang haram.

Sebenarnya orang-orang yang otaknya terjerat oleh asumsi sumbang dan termakan mentah-mentah akan omongan yang dasarnya samar semacam di atas, tidak akan melakukan hal demikian, seandainya mereka mengetahui esensi dari bulan yang penuh berkah ini. Salah satunya adalah sebagai deskripsi bagaimana kondisi perut orang miskin. Apa itu akan dapat dirasakan seseorang yang berpuasa sementara dia sendiri tidur sepanjang hari dan terbangun saat bedug dan makanan telah tersaji. Sambil berbuka puasa dia berucap,”Huuh…puasa hari ini penuh perjuangan.”

Harusnya orang-orang seperti ini perlu disadarkan dari kekurangtepatan tindakannya, bahwa bulan Ramadhan belum sempurna jika hanya diisi ibadah berupa tidur (ibadah pasif/antisipasi dari dosa) saja, akan tetapi disertai ibadah aktif. Tarawih, tadarus Al Qur’an, shalat malam, lebih-lebih pada malam ganjil 10 akhir Ramadhan. Itu pun belum termasuk ibadah wajib.

Namun jangan salah, selain ibadah hablumminallah (yang berhubungan dengan Allah), ada lagi ibadah hablumminannas (yang berhubungan dengan makhluk). Salah satunya mempererat tali silaturrahim yang mungkin sudah agak melorot.

Seperti halnya layanan domain dijaminmurah.com, mengadakan lomba menulis artikel di blog dengan harapan agar lebih akrab dengan kustomer. Ini adalah sebuah upaya yang bernuansa lebih cerah ketimbang tidur melulu di bulan yang suci ini.

Sekejap kucuri waktu. Memungut potongan-potangan mozaik masa lalu yang berserakan di sekujur raga. Apa yang dihasilkan tangan ini kemarin, detik ini, besok? Dan apakah mata ini besok masih dapat melihat tangan yang berlumur itu? Lalu kapan lagi kening ini sejajar dengan kaki, yang entah ke mana saja dia menggiringku. Kalau boleh bertanya, siapa yang bisa memastikan aku masih berkesempatan mencuri waktu di bulan suci selanjutnya?[]

Kamis, 03 September 2009

Aya Acara Inti

Asumsi yang secara wajar atau yang sering diucapkan MC, untuk mengartikan makna dari “acara inti” adalah tujuan kenapa diadakannya acara itu. Seperti buka puasa bersama, misalnya.
Namun MC tak bisa memaksakan apa yang dia katakan kepada semua orang, soalnya setiap orang punya otaknya masing-masing. Buat apa punya otak kalau cuma digunakan untuk mikirin bagaimana cara mengangguk yang dramatis, biar orang terharu? Ini adalah demokrasi.
Orang-orang kami (identitas disamarkan) mengartikan makna “acara inti” lebih manusiawi lagi. Apalagi yang paling manusiawi dalam sebuah acara itu melainkan makan? Makan itu manusiawi benget ’kan? Kan ada dalilnya: setiap yang nggak makan bukan manusia dan setiap manusia pasti makan, lebih-lebih kalau manusia itu namanya Aya.
Ada apa dengan Aya? Dialah orang yang paling manusiawi dalam setiap acara yang mengandung “unsur makan”.
Rumus : acara dimulai dia belum datang, Pas bagi konsumsi, dia datang.
Simulasi :Ahad, 29 Oktober 2008. Aula IAIN Antasari Banjarmasin. Dalam sebuah acara seminar jurnalistik yang diadakan LDK Nurul Fata. Setengah jam sebelum acara, kami tiba di gerbang IAIN. Aya tak seperti kami yang memasuki kawasan IAIN, dia malah pulang ke rumahnya. Katanya mau ngambil uang. Seminar mulai, daun telinga Aya belum muncul-muncul juga. Beberapa saat atau lebih lama lagi pastinya, Aya datang dan duduk di sampingku. Anehnya, tak lama setelah itu panitia bagi konsumsi.
Baru-baru ini pun kejadian lagi. Terhitung baru kemarin dari tulisan ini diposting, acaranya buka puasa. Tentulah acara ini mengandung unsur yang paling manusiawi. Awalnya aku ragu ngikutinnya soalnya puntik itu jauh benget dari kutub utara. Kalau dari rumahku paling nggak 20 KM-an aja. Tapi tetap aja malas jika nggak ada barengan.
Kebetulan Aya SMS, ngajakin ke sana. Kuterima aja. Kami sampai sana pukul 03.30WITA. Sedangkanbuka puasa itu pas adzan magrib (kalau Afgan Shubuh itu namanya lafadz niat puasa). Datang seawal itu nggak merusak reputasi Aya sebagai manusia paling manusiaw, karena sekitar pukul limaan dia jalan-jalan. Dan pas dekat bukaan orang sudah rapi duduk mngitari makanan baru dia datang. Benar-benar manusiawi sekali beliau.[]

Pondok Merpati
Jum’at,14 Ramadhan 1430 H.
07.36 WITA.

Porno+Jorok=Pengetahuan

Husy… jangan berpikir negatif dulu. Ini bukan cerita nonton film bokep yang seronok itu, terus kita tahu ilmunya supaya bisa mempraktekan kepada bukan tempatnya (sama kucing, misalnya).
Ilmu bukan hanya didapat dari bangku sekolah. Belajar dari kehidupan pun tak kalah pentingnya. Seperti halnya film bollywood berjudul Slumdog Millionaire yang berkisah tentang seorang milyader yang nggak terpelajarsama sekali. Dia Cuma belajar dari kehidupan. Yah… walaupun cuma film, namun itu ada benarnya juga.
Dan kali ini aku akan berbagi cerita tentang bahwa ilmu bukan hanya bisa diperoleh dari yang bersih, sopan, santun, terhormat, mulia (atau apalah) saja. Namun juga dari dua kata yang dianggap tabu ini: porno+jorok.
Kalau nggak keliru cerita ini waktu aku duduk di kelas dua Mts. Mata pelajarannya fiqih oleh Ustadz A. QUsyasyi. Nggak tau ulah siapa materi saat itu jadi melenceng ke arah seks (biasanya ada yang mancing dengan pertanyaan). Tiba-tiba ada santri yang penasaran dan khawatir sebelum waktunya,”Gimana jadinya, kalau punyaku nggak cocok sama punya istriku nanti?”
To the point saja Al Ustadz menguak cakrawala dari hal yang jarang dipikirkan oleh orang dengan peragaan beliau yang di mataku sungguh menakjubkan. Beliau ngacungin satu jari tangan.
“Ini apa?” tanya beliau.
Sarjana S3 juga tau, yang beliau acungin itu bukan jempol kaki, tapi jari kelingking . Beliau benar-benar menunjukkan jari kelingking itu ke setiap santri, seperti meyakinkan bahwa itu betul-betul jari kelingking dan akan digunakan kepada hal yang sangat luar biasa (kayak kontestan di The Master gitu atau kebalikannya, kontestan The Master kayak beliau. Soalnya lebih dulu beliau yang memperagakan, tapi sayang belum sempat beliau patenkan).
“Lihat jari kelingking ini kalau kita masukkan ke sini.” Kelingking beliau masuk ke lubang hidung. Jorok! (bagi pandangansebagian kalangan, namun aku pribadi tidak. Malah berasa kayak seni gitu, he.. he… becanda)
“Hidung kamu merasakan tidak dimasuki kelingking?” tanya beliau kepada seorang santri yang ikut-ikutan. Santri itu mengangguk cepat.
Beliau ganti jari kelingking menjadi jari manis. Seperti yang telah lewat, beliau masukkan ke lubang yang itu lagi. “Berasa tidak?”
Semuanya mangut-mangut. Ganti jari lagi… sampai seterusnya hingga ibu jari. Dari jari yang paling kecil hingga yang paling gede, lubang hidung dapatmenyesuaikan daya apitnya.
Beliau mengakhiri cakrawala ini dengan, “Nah, sekarang apa yang kalian khawatirkan lagi. Dari yang paling kecil sampai yang paling besar, semuanya pas!”
Begitulah sobat pembaca di mana pun berada, dari hal yang porno dan diperagakan secara jorok (sekali lagi anggapan sebagian orang) pun dapat diperoleh pengetahuan.
Setelah kita mendapat pengetahuan ini, diharapkan nggak ada lagi yang berhubungan intim pra nikah (apa lagi pra sejarah) dengan dalih apakah klop atau nggak dengan punya pacar. Bersabarlah sedikit, sobat, semuanya ada proses dan saat itu akan tiba. Jadi tenang saja, aku jamin pasti compatible kok.

Pondok Merpati
08.33WITA.
Selasa, 11 Ramadhan 1430 H.

Hipnotis Audiens


Belakangan ini banyak bermunculan ahli hipnotis, setelah Tommy R. Selain tampil di layar kaca, mereka gencar-gencarnya mengarang buku hipnotis. Sebelum memasuki dunia perhipnotisan biasanya pengarang lebih dahulu meyakinkan atau tepatnya menghipnotis pembaca bahwa ilmu hipnotis itu tidak ada sangkut pautya dengan dunia pergaiban .
Ngomong-nomong soal hipnotis, aku punya satu kisah di bulan ramadhan kali ini (sebenarnya nggak bulan kali ini aja sih, setiap tahun malah).
Aku adalah seorang anak manusia yang dipercaya sebagai salah satu pembaca shalawat tawarih di mushalla dekat tempat tinggalku. Kalau kerjaan macam ini’kan membutuhkan suara yang lantang dan napas panjang. Sayangnya napasku pendek. Kendati demikian nggak terlalu menyulitkanku, kecuali pada shalawat bagian akhir yang lumayan nggak pendek atau seperti kata kebanyakan orang disebut panjang. Berikut kutipannya:
اللهم صل على رسولك سيد نا ونبينا وحبيبنا وشفيعنا و ذخزنا و مولانا
.محمد
Makanya itu pas membaca shalawat yang ini aku agak cepat. Namun tetap saja sampai kalimat و ذخزنا leherku sudah kayak tercekik. Bantuan tak diharapkan pun datang. Bukannya mempermudah malah menjadi tambah sulit.
Aku ini orang yang sering terbawa (terhipnotis) audiens. Jadi walupun aku yang megang kendali (mic-nya,Bo) bacaanku tetap ngikutin jamaah yang lainnya. Kalau jamaahnya cepat, aku sih sip-sip aja, tapi kalau jamaahnya kakek-kakek yang ngomngnya udah udzur, bah bakal sumbang sama bacaanku yang cepat.
Nah, dalam kasus shalawat ini audiensnya (lebih tepatnya orang di sampingku) bukan seorang kakek-kakek macam di atas. Bahkan lebih parah (bagiku). Napas orang ini panjaaaaaaaaaaaaaaaaang da..n hhh… lantaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaang!
Simulasinya gini, pas aku sampai pada kalimat و ذخزنا orang di sebelahku ini kasihan dan bantuin nyambung ومولانا محمد, tapi نا-nya panjaaaaaaaaaaaaang banget. Aku ya juga ikut terseret kedalamnya panjangnya. Mataku terbelalak, urat leher ngambang ke permukaan kulit, suara kayak kambing. Habis pulang terawaih aku langsung cukuran jenggot (yang mengundang kontroversi sohib-sohibku). Yah… setidaknya ini sebagai tindakan mengurangi karater kambing setelah kejadian kehabisan napas tadi.[]

Pondok Merpati
06.57 WITA.
Selasa, 11 Ramadhan 1430H.

Benar-benar ujian

Ini sudah hari ulangan/ujian ke-8. Soalnya, huwaaa….. syusye minta ampun. Di kala itulah sederetan petaka menghampiri hidupku yang hampa.
Berawal dari malam ulangan ke-8. Yang diujikan adalah mata pelajaran Nahwu dan Lughatul Arabiyyah. Lughat, ah… nggak terlalu nyita pikiran tuh (Ustadz…… masam muhanya, sidin gurunya pang). Bukannya maksud merendahkan, pertanyaannya emang nggak sulit-sulit amat. Nah, yang jadi masalah itu Nahwu, pertanyaannya aja bikin ngungbi, apalagi jawabannya. Lebih-lebih ini…. Ini…. matapelajaran pokok! Nilai di bawah 6, siap-siap saja disayang walikelas (tinggal di kelas… tinggal di kelas… ye….)
Seperti yang sudah aku bilang, petaka ini berawal dari malam ulangan ke-8. Biar mudahnya, mari kita flashback dulu ke waktu siang. Siang itu sangat membakar. Aku paling nggak tahan kalau kepanasan. Mana hari panas, pakai acara mati listrik pula. Kipas jadi nggak berfungsi. Aku mandi keringat. Bajuku sudah jadi kayak jemuran kehujanan. Kulit lengkat lagi. Ciaaaaatt….. aku sudah benar-benar amat sangat nggak tahan sekali.
Aku menyelamatkan diri ke kelas. Saat panas begini bagiku ada dua tempat yang sangat pas untuk dikunjungi, yaitu kutub utara dan selatan. Namun berhubung tempat itu sangat jauh dari sekolahku, yah… di kelas pun jadi (sebenarnya di mushalla juga nggak kalah enaknya, tapi lagi malas aja).
Di kelas aku mondar-mandir nggak keruan. Padahal besok ulangan penting. Tapi aku tidak bisa kosen di kala panas begini! Dalam pikirku, ah nanti saja belajarnya, malam juga bisa. Singkat waktu (ini dia kelebihan menulis, sebentar-sebentar nyingkat waktu) aku telah sampai di malam hari. Waktu itu antara maghrib-i’sya, bukannya belajar, aku malah KKN (kunyuk-kunyuk narai). Habis isya aku kebanyakan makan, jadi malas belajar. Ngantuk.
Namun biar bagaimana pun, aku musti belajar, besok matapelajaran pokok. Aku belajar, sambil rebahan. Tahu kenapa akibatnya. Aku ketiduran. Sukur (sukur dalam artian “untung”, bukan si Sukur ketua ibadah itu) aku terbangun setengah empat pagi Aku gemetaran belum belaja apa-apa. Aku sibuk mencari-cari kitabku. Alamak tertindih ternyata, jadi penyok deh.
Saking stresnya, kumakan kitabku (seandainya ada yang bilang makan kitab itu enak, untungnya nggak ada yang bilang kayak itu). Aku hidup-hidupan (kalau mati-matian, mana bisa aku ikut ulangan) belajar. Nahwu itu, jika ditimbang-timbang, kayak fisika, otak terbanting-banting mikirnya. Akibatna aku nggak sarapan pagi itu. Padahal kalau lapar, aku agak sedikit nggak pintar (kalau kenyang tapintar saikit).
Hitungan menit saja bel masuk bunyi. Aku optimis bakal dapat menjawab semuanya. Soalnya aku sudah mengahapal rumus-rumusnya. Aku bilang pada temanku yang kursinya dekat denganku,
“Zan, mun handak meneron, lajui ja, hari ini aku handak lakas keluar. Parut padih nah. Balum makan.” (beeeh.. keren banget ngomongku waktu itu, sambil nepuk-nepuk perut lagi)

Di kelas…
Lembar soal dibagi.
"إنَالله وإنَاإليه رجڠون" Ucapku.
Aku memang hapal ruumusnya. Tapi kalau pertanyaanya:
"لبناءالأجوف ڽلا ڽة أوجه حركة، بينها"
Jawabanya yang mana? Aku hapal, tapi nggak paham. Ah…. Sia-sia! Biar hapal, tapi soalnya nggak paham, itu berarti sama saja dengan pribahasa “pagar makan tanaman” (silakan temukan benang merahnya antara permasalahanku dengan pribahasa ini, pengomen pertama mendapatkan satu set mug cantik).
Singkat cerita (lagi!) satu demi satu teman-teman yang lainnya keluar. Sampai tinggal beberapa orang, dan aku termasuk dari orang-orang itu. “Aku” yang mana? Itu, “aku” yang tadi ngomongya pengen cepet keluar sambil nepuk-nepuk perut. Dan detik itu pula teman yang kusuruh kalo mau, nyontek buruan aja, berpaling ke mejaku.
“Ham, badahulu lah…”
Semuanya ludes, kecuali tinggal tiga orang yang bertahan masih di dalam lokal, dan aku salah satunya!
Aku masih bingung, dan lonceng tetap berdentang. Kutatap lembar jawabanku. Penuh. Padat. Berjejal dengan coretan artistik, kayak efek asap hitam bom. Ah, nggak pa-pa. Setidaknya antarmuka kertasnya penuh, walaupun salah. Kali aja pengoreksinya ngira begini: Oh, kepenuhan ya. Mungkin padahal dia ingin nulis jawaban yang benarnya tapi nggak muat lagi. Saya kasih 9 saja, sebagai upah nulis.
Aku bergegas keluar lokal, coz perut keroncongan. Beberapa menit kemudian aku masih mondar-mandir di muka di sepanjang lokal. Bukannya mau gaya-gaya sih atau sok gimana gitu, tapi suer sandalku banyak fansnya. Terpaksa aku pulang bersama sandal gabin hitam yang mengharukan, sampai-sampai pemiliknya aja teralu malu melihatnya.
Di kantin…….
Aku berduka….. karena lontong habis. Sebenarya di kelas aku nggak hanya mikirin نائب الفاعل, namun lontong juga. Lagi-lagi terpaksa makan wadai yang….. Mau gimana lagi, keduluan orang.

Ulangan jam kedua. Di lokal……..
Lughatul Arabiyyah. Seperti yang sudah kukatakan nggak terlalu sulit. Tapi ada gangguan datang dari orang sebelah. Ini benar-benar orang sebelah lho. Yang duduk di sebelahku, di seberang jalan itu. Dia tuh nyontek agresif luar biasa. Patut diancungi jempol. Tapi tetap aja ketahuan pengawasnya. Biasanya kalau pengawas yang satu ini nemuin ada yang nyontek, nggak langsung beliau keluarkan, tapi tempat duduk pelakunya saja yang dipindah ke tempat duduk pengawas. Benar-benar hal yang memalukan. Apalagi pas ada ustadz-ustadz yang keliling lokal, bah… bakal jadi tontonan dah. Dan sialnya lagi misalnya kebetulan satu di antara ustadz yang keliling itu adalah wali kelas sendiri.
Nah yang jadi pertanyaan di sini, apakah orang sebelah ini juga akan mengalami nasib yang sama seperti pendahulunya? Ternyata tidak, dia dibiarkan duduk manis di alamnya. Malah pengawas yang mulia ini mempersilahkan aku yang duduk di kursi pengawas!
“Biar aman,” dalih beliau.
Aman-aman tapi malu, pikirku.
Lagi-lagi terpaksa (kenapa pemeran utama mulu yang terpaksa, kayak di sinetron?) aku duduk di kursi pengawas. Malu? Pastinya, iya. Apalagi ustadz pemegang Lughatul Arabiyyah datang.
“Di sini kurang kursinya kah?” tanya beliau kada tahu-tahu muha. Kubalas aja, aku juga kada tahu-tahu muha.
Inilah ulangan yang benar-benar ujian.[]

Ulangan Terlaknat

Pyuuuu…..h…. Sembilan hari yang melelahkan usai juga, ulangan akhir semester.

Aku rasa ulangan kali ini adalah ulanganku yang paling laknat selama ini! Nggak, aku nggak bunuh teman karena nggak dikasih contekan, kok. Hanya saja ulangan kali ini aku suka nanya petunjuk (iya…iya… maksudku nyontek).

Jauh-jauh hari aku ini punya pantangan nyontek, kecuali pas terdesak (sama ae lah…). Aku ini anak pondokan klasik-moderen, jadi sekolah dibagi dua, pagi agama, sedangakan siang untuk umum. Nah yang menjadi benang merah di sini adalah kalo agama aku cukup jago, kalo umum lumayan bego. Dengan kata lain pas ulangan pondok, aku nggak bakalan jadi jerapah. Tapi jika pas ulangan umum, bah kemampuanku melebihi intelijen! (Ngorek informasinya)

Aku jadi teringat ulangan tempo doeloe (duh… sok kakek-kakek), aku benar-benar coo l (ini dalam kasus ulangan agama), soalnya aku benar-benar jenius. Tapi pas ada yang nanya jawaban, aku beri. Minta contekan nggak, ngasih iya. Namun seiring berlalunya zaman, semuanya tinggal kenangan.

Aku masih ingat benar, ulangan semester ganjil lalu aku berusaha mati-matian mempertahankan keperawanan nilaiku. Benar, aku nggak nyontek satu kali pun. Saking sok sucinya, aku merasa sangat hina dikala bingung akan suatu pertanyaan, eh… tau-tau (siapa ya? Aku lupa) dibelakang bisik-bisik (aku dengar) sama teman seberangnya:………………………:ان النبي صلي الله ڠليهم وسلم قال Itu dia jawabannya. Aku jadi bingung musti senang atau sedih? Tapi intinya waktu itu jawabannya langsung kutulis, soalnya mubazir kalau terbuang sia-sia (maksa banget!)

Sekarang? Hah……. Entah berapa jumlah jawaban ilegal yang nangkring di lembar jawabanku. Meskipun aku rangking satu, itu takkan membuatku bangga sepenuhnya (terlebih si Rainbow minta ditraktir ke warnet jika aku rangking wahid, hu… hu…64237097 kali).

Akhirul kalam, semoga aku diampuni-Nya. Dan juga si Rainbow, nanti ke warnet jangan lama-lama (kayak optimis rangking satu aja) dan kudo’akan semoga kau lupa dengan nadzar ini.

Rabu, 08 Juli 2009

Tolong Aku!

Saat umurku dua bulan, ayahku meninggal, berarti ibuku menjanda. Ibuku itulah satu-satunya yang mengajariku bagaimana trik masuk surga.

Kata ibuku, ayahku orang yang budiman. Makanya dia berujar,”Sayang, pokoknya apa yang kamu mau, bisa didapatkan di surga. Bahkan kamu bisa bertemu ayahmu di sana.”

Diajak shalat, aku manut saja, karena dua alasan : pertama, mushalla komplek, tempat biasa aku shalat, adalah sekaligus tempat bermain di malam hari, kedua, aku ingin masuk surga!

Disuruh puasa, aku menurut juga karena dua alasan,: pertama, aku malu sama teman-teman jika tidak puasa sebab semuanya puasa, kedua, aku ingin masuk surga!!

Diajari ngaji oleh Ustadz Raffi, yang sekaligus merangkap jadi ayah baruku, aku sanggupi juga karena dua alasan: pertama, aku takut dimarahinya, kedua aku ingin masuk surga!!!

Orang kebanyakan jika ditanya, kenapa ingin masuk surga? Jawabannya mungkin adalah ingin merasakan betapa lezatnya nikmat di surga. Namun aku tidak demikian. Aku punya motif terselubung. Tapi sayang, untuk sementara aku malas membicarakannya. Mohon jangan paksa aku.

*****

Awalnya sebelum Ustadz Raffi menikahi ibuku, dia mengajarkan mengaji di mushalla komplek, dan tinggal di rumah sewaan yang cukup jauh dari pemukiman, tepatnya di sebelah timur komplek.

Sewaktu Ustadz Raffi baru bermukim di komplek Kayuh Baimbai ini, warga tidak terlalu mengenalnya, bahkan sampai saat ini. Terhitung dari tiga tahun silam, saat di mana Ustadz Raffi terseok-seok menjinjing tas besar, hingga sekarang, dia dikenal hanya sebatas santri dari sebuah pondok pesantren di Jatim. Cuma sampai di situ. Tak lebih barang sedikit pun. Terkecuali setelah dia menikah dengan ibuku, ada sedikit tambahan, namun aku tak ingin mengatakannya saat ini.

Kala itu berhubung penggawa mushalla komplek telah menginjak usia udzur dan ingin beristirahat, bidikan menancap pada Ustadz Raffi, yang ternyata seorang pengangguran, sebagai pengganti.

Jadilah dia yang mengelola mushalla. Dan orang ini membuka TPA (Taman Pendidikan Al-Qur’an). Setelah dia duduk bersama ibuku di pelaminan, dia melepas TPA-nya, dan dilanjutkan oleh penerus.

“Biar lebih khusyu’ ibadah dan fokus mengurus rumahtangga,” katanya.

Benar- benar selaksa malaikat. Siapa yang tidak bangga punya ayah baru seumpama ini?

*****

Jika bel pulang bertugas, aku selalu melongo. Bukannya aku anak yang kelewat manja, tetapi aku benar-benar iri lagi dengki, kalau aku mendapati tubuh mungilku ini di gerbang SDN Surgi Mufti 5.

Selalu saja aku melewati gerbang ini sebatangkara. Sedangkan Andini ditunutun ayahnya yang polisi itu. Kalau Mia, anak manja itu, pasti menempel di punggung ayahnya.

Kalau Ayah sibuk, setidaknya Ibu atau Kakak yang menjemput. Seperti Sabrina, selalu ibunya yang menyambut di gerbang. Untuk Andre, kakaknya yang turun tangan.

Walau ingin, tapi aku tak ingin egois. Kasihan ibuku. Secara fisik, dia tidaklah tampak memiliki jantung yang lemah, namun sebenarnya, sudah tiga tahun ini Beliau bolak-balik ke dokter jantung. Mana mungkin aku menerima tawaran ibuku tercinta untuk menjemputku, sementara suatu saat dia bisa saja tumbang.

Ayah baruku? Kelihatannya dia tak punya inisiatif sedikit pun untuk menjemputku. Entah mengapa. Sibuk ibadah, mungkin. Aku pun tak ingin dijemput olehnya. Itu ada alasannya. Untuk sementara aku malas membicaraknnya. Mohon jangan paksa aku.

*****

Sepulang sekolah ada kegemparan. Di jalan depan gerbang sekolah, teman-teman ramai. Aku memaksa menyeruak masuk ke kerumunan, sampai-sampai buku latihan bahasa Indonesia-ku, yang dijejali nilai sempurna, lecek.

Di tengah kerumunan itu ada Erika yang nangis-nangis. Seseorang, yang aku ya-kini dia adalah ayah Erika, menenangkannya. Di sudut kerumunan kulihat ada pria dengan pakaian acak-acakan. Dia terkapar bersama wajah bonyoknya.

“Ada apa?” tanyaku pada Rio.

“Preman itu tadi mau memalak Erika. Untung, ayah Erika keburu datang. Habis itu premannya marah-marah dan ngajakin be-rantem. Untung ayah Erika hebat be-rantemnya. Mampus tuh preman. Rasain lho!”

Wah … aksi heroik!

Teman-teman , semuanya tepuk ta-ngan dan teriak,

“Hore…! Hore….!”

Perlahan Erika akhirnya tersenyum. Pasti bangga kepada ayah yang melindunginya itu.

Oleh suatu perasaan, aku tertarik mundur dari khalayak dalam bisu. Bahuku guncang. Mohon jangan usik aku dengan pertanyaan,”Kenapa kamu nangis?”

*****

Hari ini Bu Asmarina, guru bahasa Indonesia kami, memberi tugas menga-rang dengan tema “ayah”. Lantas aku pura-pura sakit. Cukup menerapkan pose menelungkup di meja, aku yang murid teladan ini tentu akan ditanya Bu Asmarina,

“Kamu sakit, Rina?”

Aku mengangkat wajah.

“Rina, muka kamu pucat!” tanggap Bu Asmarina.

Pucat? Oh iya, belakangan ini aku memang sulit tidur karena suatu alasan.

Beberapa menit sesudahnya, siapa pun bisa menemuiku di UKS. Aku tersedu sepeninggal Novi, teman sebangkuku yang tadi mengantarku ke sini. Atas permohonanku sendiri dengan alasan supaya dia tidak ketinggalan pelajaran, dia mau meninggalkanku. Aku tak ingin dilihat seseorang di saat seperti ini.

Inilah wujud asliku. Sepintas aku adalah tembok Cina, sangat tegar. Kalau saja mau lebih jeli sedikit, aku ini tak lebih kuat dari kayu dengan luka akibat rayap, lapuk, sangat rapuh. Atau kausebut saja aku agar-agar.

Bu Asmarina pasti tidak curiga bahwa aku lari dari tugas kali ini. Terserah jika ingin mengataiku sombong, namun aku ini benar-benar jenius. Dan di antara matapelajaran yang mudah itu, Bahasa Indonesia paling kukuasai. Bukan apa-apa. Aku Cuma hendak memastikan bahwa Bu Asmarina tak mungkin mencurigaiku.

Otak kananku bisa saja mengarang karakter ayah super. Dan itu akan mendustai diri sendiri, pikirku, jika kulakukan. Mungkin saja aku mengambil sampel ayahnya Erika, tapi itu hal memalukan. Otak kiriku mendobrak-dobrak daya khayalku dengan segala realita yang digiringnya, kenyataan yang pahit.

*****

Suatu kali aku ingin mengutarakan bebanku kepada Ibu. Tapi saat pupil mataku menangkap sosok itu, bersileweran jantung-jantung yang kapan pun bisa mogok mendadak. Aku tak setega itu.

Lain kali ibu mendapatiku menangis di kamar. Sebetulnya ibuku baru datang dari pengajian malam Minggu, pulang sehabis isya.

“Ayah, Rina kenapa?” tanya ibu, hampir berbenturan dengan ayah baruku di muara pintu kamarku.

“Nggak tau. Dari tadi nangis terus. Ditanya kenapa, dia diam saja. Tolong ibu saja yang menenangkannya. Saya mau keluar dulu,” cerocos ayah baruku.

Dia pun berlalu sambil berdehem. Deheman berat yang hanya dipahami oleh sebagian orang.

Ibu masuk ke kamar, lalu mengusap ubun-ubunku. Sedari tadi aku memeluk lutut dan menyembunyikan wajah di baliknya.

“Sayang, ada apa?” Suara ibu lembut.

Hampir saja aku gegabah dengan menyampaikan kesulitanku, jika aku tidak mengangkat kepala, menatapnya. Benar, jantung-jantung itu masih hilir mudik.

“Sayang, cerita dong sama mama, ada apa?”

Aku cepat-cepat menghapus airmata, dan menggeleng. Sedetik kemudian, aku tenggelam di dekapan Ibu.

*****

Semoga saja tidak terlambat, kenalkan, ini ayah baruku. Orang itu tidak bekerja lagi semenjak menikah dengan ibuku. Dia beralasan, seperti yang sudah kukatakan, agar fokus ke ibadah dan rumahtangga. Dia tidak lagi sibuk dengan dunia. Malaikat, bukan?

Jika aku sering menjatuhkan airmata ibu dengan prestasi, malaikat ini pun sering menguras airmataku. Ah, tahukah, betapa pilunya bagian yang kedua itu? Di situlah perbedaannya.

Hari ini pun, saat Ibu tak ada, aku menangis sejadi-jadinya.

Aku tak sempat kabur ketika menyadari malaikat hadir dengan seringainya. Bahkan hari ini lebih menyakitkan dari sebelum-sebelum ini. Aku berdarah-darah lebih melimpah. Sama melimpahnya dengan airmataku.

Sungguh selama ini, aku ingin beramah-tamah, tetapi kali ini, aku sudah tak tahan lagi. Sebetulnya malaikat itu iblis! Jauh-hauh hari telah kukatakan, ada sedikit tambahan informasi setelah dia menikahi ibuku, yaitu dia punya kelainan.

Hatiku perih mendengar derekan resleting. Apalah arti kecerdasan. Apa gunanya prestasi? Piala berderet-deret itu cuma diam! Lagi-lagi lenguhan itu menghujam bayang-bayang masa depanku, yang telah suram lagi curam.

Jauh di alam kalapku, pisau dapur itu kuinginkan mengakhiri segalanya. Apakah aku atau iblis itu yang harus meninggalkan nama di nisan? Terserah!

Lagi-lagi aku disentak sesuatu. Seandainya itu kulakukan, aku takkan ma-suk surga. Padahal aku aku ada keperluan di sana.

Mentalku remuk berserpih-serpih. Jika diperbolehkan, izinkan aku melibat-kanmu di cerita ini. Jadilah tempat cur-hatku. Baiklah, kau sebenarnya ingin tahu apa alasanku masuk surga, meski itu tak penting bagimu.

Aku ini masih bocah, mempunyai keinginan seperti Erika! Jika masuk surga, aku cuma ingin mengatakan pada ayahku di sana, bahwa aku sungguh membutuhkan ayah, yang sebagian darahnya mengalir di diriku. Aku ingin mengadu kepadanya bahwa ayah baruku telah menyakitiku, tak berperasaan. Aku minta belas kasihan, pembelaan, seperti Erika.

Aku tak butuh ayah baru macam iblis laknat terkutuk itu! Sekali lagi kutegaskan, aku butuh ayah yang melindu-ngiku, bukan yang suka meniduriku!!! []

Minggu, 31 Mei 2009

Seminar FLP

Ahad, 31-05-09
Bah, hari ini gue senang nggak ketulungan. Ngehadirin acara seminar di Smasa, yang di adakan FLP. Selain dapat ilmu dapat doorprize pula. Dan pada hari itu, detik itu juga, pertama kalinya domain blog gue ada yang muji (biasanya dibilang aneh). Dari penulis beken lagi, Imatuzahra, yang penulis "Long Distance of Love" itu. Kata Beliau, namanya unik dan lucu. Jadi kepikiran pengen kelelepon juga. Syukran katsir-katsir ya, Mbak atau Ibu.
Sekaligus usai acara, FLP nerima anggota baru. Gue buru-buru nyambar formulirnya. Moga-moga bisa eksis. Amiiiii......!

Ini cuman sekadar ilustrasi doang.

Jumat, 29 Mei 2009

Republik Kelelepon

Ah..., Presiden kita ini, dari sudut pandang manapun tetep gagah.

Inilah mata uang yang berlaku di Republik ini. Namanya, aja.

Salah satu piagam yang tak sengaja diraih Presiden Kelelepon

Makanan pokok Republik ini adalah................ ya nasi lah... Kalau kue favoritnya baru kelelepon atau ada juga yang nyebut klepon.
Mengahadiri pemutaran film pertama di Ginja: Super Ham sama Jacky Chan