Jumat, 05 Februari 2010

The Legend of 10 (part II)

                Hari sudah agak siangan, pukul 10 waktu setempat. Grand Canyon benar-benar surga bagi yang ingin back to nature. Kebetulan Ilham duduk di kursi dekat jendela. Dia jadi busa leluasa melihat dari jendela  bus di samping bahu kirinya, tebing-tebing yang eksotis sekaligus angkuh.

                Bus berderak dengan kecepatan sedang (bahkan mendekati rendah) di atas jalan beraspal yang zig-zag, kiri-kanan. Ilham membuka meja lipat yang menempel di sandaran kursi di depannya. Lalu dia letakkan di situ netbook bercorak Marsupilami. Dia mengetik sedikit tentang Grand Canyon, lumayan hitung-hitung nyicil jurnal backpack-nya.

                Stretching 277 miles across northern Arizona, the Grand Canyon ranges in elevation from 2,400 feet to over 7,000 feet above sea level. In places, it is up to one mile deep and over 18 miles wide, while some of the canyon's majestic plateaus to the north rise to 9,000 feet above sea level. . The scenery is spectacular, and is a must see for anybody.

                Cukup. Setelah netbook dihibernate-kan, Ilham segera menutupnya. Inilah kelebihan dari netbook yang khusus diperuntukkan bagi backpacker-backpacker suatu travel agency mapan. Dalam netbook ditanamkan hardware cool hell berbahan elemen yang dapat me-coolent tingkat panas  apabila  netbook kepanasan. Sebagai backpacker, tentunya sering buka-tutup netbook di sembarang tempat. Entah itu di bawah pohon atau dalam toilet.

                Dulunya memang dalam pencatatan jurnal hanya bermodal buku catatan, namun perkembangan multimedia sangat mencolok, sehingga semua profesi yang bersangkutan dokumentasi tak lepas dari yang namanya netbook atau sejenisnya.  Karena itulah netbook backpacker disertakan coolhell di bawah keyboard. Sehingga bisa langsung ditutup tanpa menunggu netbook dingin sampai 10 hingga 15 menitan. Soalnya jika dipaksakan ditutup dalam keadaan masih panas bakal mengurangi resolusi layar.

                Akhir-akhir ini banyak bermuculan backpacker yang ingin menjelajah, namun enggan menggunakan jasa travel karena ingin merasakan tantangan di negeri orang dan terperangkap di zona asing. Jika mengandalkan jasa travel, tentu akomodsinya dijamin, dengan kata lain pasti buia balik lagi ke negeri sendiri, dan pulang tepat waktu tanpa adanya kesempatan berleha-berleha ke tempat yang lebih banyak lagi, soalnya segala sesuatu sudah diatur travel agency yang bersangkutan.

                Perusahaan jasa travel menyisiasati ini, dengan memperkerjakan backpacker untuk survei lapangan dengan cara backpacker, tanpa campur tangan travel ke beberapa kota dan negara yang rating wiastanya tinggi, dengan biaya semurah-murahnya. Dan selanjutnya backpacker travel ini menuliskan jurnal penjelajahannya, jalur transportasi termurah dan kota apa saja yang dapat dikunjungi dalam kurun waktu yang se-efisien mungkin,  beserta kemungkinan terburuk yang sering terjadi sekaligus pilihan solusinya. Lalu jurnal itu dibukukan sebagai bahan referensi backpacker yang ikut training. Jurnal itu pun tidak baku, cuma sebagai tawaran.

                Wah…. Dari jendela bus, Ilham melewatkan sebuah danau dengan permukaan beriak damai. Entah mengapa danau itu mensugestinya untuk turun di situ.

                Bus merangkak lagi setelah menurunkan Ilham di bahu jalan.  Dia kenakan kacamata rayban, soalnya silau matahari. Celananya tiga perempat di bawah lutut berwarna hijau lumut. Sedangkan sepatunya bersol tebal dengan gerigi yang sangar.

                Dia pun melompati batu-batu besar, menuju danau yang agak menjorok ke dalam hutan.  Danau berdiameter 15 meteran ini dikepung oleh bebatuan alam raksasa dan pohon-pohon cemara yang diramaikan burung-burung. Di pojokan terdapt air terjun mini setinggi dua meteran. Rupanya itu pelaku yang menimbulkan air ini beriak.  Ilham melongok ke danau. Dasarnya kelihatan, berupa batu-batu kecil dan pasir.

                Transparent,” komentarnya sambil mencelupkan tangan. “Dan sejuk.”

                Dia pun segera melaksanakan niat jahatnya. Banting bag pack, lepas sepatu, bongkar pakaian, berenang! Bah, dia adalah penggila renang sejati.

                Tapi gerakannya terhenti sewaktu melepaskan kaos oblongnya, dan perlahan mengembalikan posisi kaos yang sempat terangkat setengah.

                “Perasaan ada yang kurang.” Dia nengok ke  bag pack yang ditelantarkannya di atas batu besar. Dia periksa  isinya. Baju celana ada. Paspor dan kawan-kawan ada. Sleeping bag juga ada. Krim anti panas dan dingin masih ada. Pokoknya semua ada.

                Lalu dia  menerawang, dan mulai tergambar di atas kepalanya: benda banyak tombol, punya layar 8 inchi, pake touchpad yang sering nyetrum telunjuknya. Netbook!

                Dia bedah habus-habusan bag pack-nya. Positif, nggak ada.  Pasti bakal dimarahin atasan lagi, soalnya dia juga pernah menghilangkan netbook di Colusium Roma dua bulan yang lalu.

                Ilham mengingat-ingat, waktu dalam bus yang ditumpanginya tadi, dia ngetik bentar, netbooknya ditaruh di atas meja lipat .

                “Ah, iya lupa dimasukin ke tas.” Ini karena tekad berenangnya membuat dia lupa pas melihat danau tadi. Segera dia berpikir mengejar bus tersebut. Pasti belum begitu jauh. Soalnya busnya lambat. Dia buka resleting bag bagian samping. Sebuah sketboard lipat, hadiah dari pacarnya waktu kuliah di IAIN Antasari. Dia selalu membawa papan itu kemana-mana, aneh memang backpacker membawa barang semacam itu, tapi saat begini berguna juga. Selain berenang dia juga peluncur yang cukup handal. Setelah merentangkan papan luncur, dia  putar tuas dekat engsel, supaya pas papan jumping, papannya nggak terlipat.

                Ilham kembali melompat-lompat di batu-batu, jalannya semula, menuju pinggir jalan.  Benar, bus tadi masih kelihatan di ujung jalan. Dia tempatkan board-nya ke atas aspal, dan melompat ke atasnya, sejurus kemudian, wusss…

                Sekarang bus menikung ke kanan, dan hilang di balik tebing terjal yang menjulang angkuh. Ilham harus lebih cepat lagi, jika tidak ingin diomelin  Pak Rustam, manajernya untuk yang kedua kalinya.

                Hampir saja Ilham menikung ke kanan, tiba-tiba dari arah yang berlawanan meluncur mobil Ford metalik. Berhubung Ilham jalannya agak ke tengah dan kurang cepat menyadari si Ford sebab terlindung tebing, terjadilah tabrakan. Syukurlah Ilham cukup gesit melompatdari board-nya  ke atas kap mobil dan terus hingga ke bagian atap, tapi si pengemudi terkejut dan langsung injak rem mendadak, sehingga keseimbangan Ilham goyah dan jatuh ke belakang mobil. Sikunya berdarah.

                Aahh…”ringisnya. Si pengemudi segera keluar. Pria  jangkung.

                “Sorry….,” ucapnya gugup campur bingung, apakah dilanjutakan menggunakan “sir” atau “boy”. “Are you OK? I Will keep you to the clinic now if you are hurt. The hospital is distant from here ,” tawarnya, tapi bernada perintah.

                “Oh, thanks. It’s  ok,” sahut Ilham ramah. Salah dia juga sih, meluncur serampangan.

                “Anda dari Indonesia?” tanya si pengemudi tadi dengan bahasa indonesia, setelah melihat fisik Ilham. Yah, paling nggak dia orang melayu, batin pengemudi itu.

                 Lho, kok tau? Jangan-jangan yang nabrak gue atau tepatnya yang gue tabrak tadi orang indonesia juga, pikir Ilham yang dari tadi menunduk memerhatikan lukanya. Segera dia mengangkat wajahnya.

                “Iya, saya dari Indo….” Jawabannya tersangkut di kerongkongan.

                “Ilham?” Spontan si pengemudi melontarkan nama itu, seakan tidak percaya, bertemu kawan lamanya di sini.

*****

                Jauh dari situ, Indonesia, ibu kota kalsel, Banjarmasin. Malam itu Qori terlibat pembicaraan serius dengan Ihsan.

                “Lo itu kan bankir, masa  nggak bisa,” rengek Qori kayak anak ingusan minta permen.

                “Bukan masalah bisa atau nggaknya, tapi gue nggak mau berdosa, apa lagi sampai masuk LP, titik!” tegas  Ihsan.

                “Ck, musti berapa kali gue bilang,”dengus Qori kesal. “Lo nggak bakal gue libatin sejauh mugkin, lo cuma perlu duplikat nih kartu dan tutup mulut, selesai. Selanjutnya semua serahkan ke gue, dijamin beres tanpa cacat. Lo tau kan, gue yang sekarang  bukan seperti gue yang dulu lagi, gue teliti, Men.” Qori mendoktrin Ihsan.

                Tapi, itu kan uang orang,” ucap Ihsan  innocent.

                “Eerrghh…” Qori hampir saja ingin mencekik makhluk di hadapannya ini. “Berapa kali gue bilang, yang gue bajak itu orang korup, jadi itu bukan duitnya, tapi duit orang sebangsa mereka.” Qori menunjuk gembel-gembel yang berkeliaran dekat tokonya.

                Ihsan mikir-mikir lagi.

                “Ya udah, terserah lo aja, mau bantu ato nggak,”ucap Qori. “Gue cuman mau bantu mereka, dan gue nggak ngambil seperser pun dari hasil itu, kecuali biaya operasional doang.” Qori melanjutkan pelan banget,”Dan sedikit upah.”

                “Gue masih bisa makan dari hasil toko DVD gue.” Mulai dah  curhat.”Nggak hanya makan, beli mobil gue juga mampu.”

                Qori memang membuka toko  DVD, DVD bajakan. Kata orang, kapan Indonesia  bisa maju kalau pembajak-pembajak menjamur di mana-mana. Namun Qori tidak merasa bersalah, lho wong film yang dia bajak juga hasil bajakan dari dari film lain, hanya sedikit mengubah alur cerita. Tapi tetap saja membajak itu salah.

                Meskipun  toko DVD menjamur di mana-mana, toko Qori tetap yang paling ramai pengunjung. Soalnya, film-film  DVD Qori kualitasnya bagus, bukan hasil dari layar bioskop yang di kamera ulang. Cara mendapatkannya dari suatu situs.

                Sebetulnya situs tersebut tidak disediakan fasilitas download, hanya sebagai sampel, jika ingin melengkapi koleksi, tinggal beli lewat rekening. Namun file film yang diterima, setelah registrasi  itu ber-extension “.dcp”, sebuah extension atau format baru, yang  tidak bisa digandakan (copy).

                Bukan Qori namanya kalau tidak bisa menyisiasati hal sepele ini. Dia pakai pihak ketiga, dengan begitu dia bisa  free download.

                Hasil dari download-an itu pun sama dengan download berbayar, sama-sama berformat  .dpc, tidak dapat digandakan. Namanya juga Qori, pasti punya akal bulus. Dia masukkan file.dpc itu ke software converter (pengubah format). Software tersebut sudah dilenkgapinya script atau sejenisnya, semacam plug in gitu, biar file.dpc bisa masuk ke converter dan keluarnya format“.vob” yang busa dibaca DVD Player.

                Jadi film-film di kepingan DVD yang dijual Qori bebas dari layar bergerak-gerak aneh, blank mendadak, serta tiba-tiba ada penampakan siluet manusia berjalan yang kebelet ingin ke toilet.Rumit memang, tapi dengan begitu dapat menarik kepercayaan konsumen. Selain itu dia burning (masukkan) juga ke DVD yang dijualnya, aplikasi anti copy, buat jaga-jaga agar  filmnya nggak dibajak dan digandakan ulang oleh pihak lain.

                Namun tetap saja trik  ini punya kelemahan. Satu dua orang atau lebih ada pembajak jenius (PJ). PJ  tidak menggunakan perintah copy, send to apalagi cut, untuk mentransfer  file film ke harddisk, soalnya perintah itu sudah disable (nonaktif) jika dilihat dari klik kanan. Namun sebagai pengganti perintah tersebut, PJ pakai converter. Kronologinya: -masukkan file film dari DVD Qori ke converter. –Atur format file hasil convert tetap format .vob. –Dan terakhir, atur output (tempat hasil convert diletakkan) ke komputer, desktop misalnya.

                Tampaklah di desktop file film yang nggak bisa digandakan tadi. Kalau sudah begitu tunggu apa lagi, tinggal burning (ke DVD sebanyak-banyaknya.

                Back to toko Qori.

                “Gimana?”

                “Yah, gue pertimbangkan,” jawab Ihsan. Intonasinya aneh, seperti menutupi keantusiasan. Qori tahu paling Ihsan sulit menolak kerjasama  untuk kebaikan, walau jalannya rada-rada salah.

*****

                Ilham berhasil merebut netbooknya, berkat kawan lama di sebelah kanannya ini. Bus itu terkejar oleh Ford metalik  dan memotong laju bus. Ilham, masih dalam ford, balik lagi ke danau, bagpack-nya tadi dia tinggal di situ.

                “Nggak nyangka bakal ketemu di sini,”ujar Aya.

                “Sama. Pantesan aja gue keliling Banjarmasin nggak pake helm, spion dua-duanya nggak ada, nopol dilepas lagi, langgar rambu-rambu, selalu bukan lo yang nilang.”

                “Heh?” Aya menatap Ilham bingung.

                “Iya, bukannya habis lulus dari Al Falah lo pengen sekolah polisi gitu. Gue kira lo jadi polantas yang niup-niup pluit ama ngibas-ngibasin kayu power rangers yang bisa nyala itu, hahaha…”

                Aya ikut ketawa-ketawa, dan satu kebiasannya yang nggak hilang: kalau ketawa sukanya mukul-mukul lantai. Jika lantainya kotor dai mukulin orang di dekatnya. Jika lantai kotor dan orang di dekatnya sangar, dia mukul-mukul apa saja entah itu tiang, tembok atau apalah. Yang penting ada yang busa dipukul.

                Dalam kasus kalil ini, dia mukul-mukul kursi yang didudukinya. Ilham menggeser posisi duduknya. Jangan-jangan kaki gue lagi yang bonyok, batinnya.

                Sejenaknya Aya melupakan setirnya, dan segera disadarkan jurang .

                “Oi, lo lagi nyetir,”tegur Ilham. Sigap Aya meraih setir.

                Ada tempo sunyi. “Di sini, di sini!!” ujar Ilham. Aya injak rem.

                Ilham mengambil bagpack-nya. Aya heran.

                “Buset, mau ngungsi ke mana, Mas. Kayak backpacker aja.”

                “Emang backpacker,” sahut Ilham. “Utusan travel,”lanjutnya.

                Ilham melempar bagpack ke jok belakang dan dia sendiri duduk di samping Aya.

                “Sekarang lo mau ke mana?” tanya Aya.

                Up to you. Hari ini gue udah bebas tugas , tinggal bikin jurnal terus kirim via  e-mail, selesai.”

                Aya diam sebentar, menentukan arah.

                “Udah… ke rumah lo  aja. Sekalian gue mau  liat istri lo. Cantik nggak.” Ilham menyikut Aya.

                Aya terkekeh. “Rumah gue bukan di sini, dan gue masih perjaka, dodol!”damprat Aya.

                “Terus lo ngapain terdampar di sini?”

                “Gue cuman berlibur doang. Rumah gue di Las vegas, tapi mulai minggu depan gue pindah ke LA. soalnya gue dipindahtugaskan ke sana.”

                “Tugas?”

                “Divisi kriminal,terang Aya. “Mungkin lebih akan beratdari sebelumnya. Lo taukan LA. kota penuh dengan kriminal. Gangster, mafia.”

                Jadi lo beneran jadi polisi?” Ilham meyakinkan.

                Yo’i.” Aya mengangguk. Mobil terus berjalan.

                “Polisi kriminal Los angeles?”

                “He-eh.” Mobil semakin cepat.

                “Yang pakai seragam ato yang yang jas itu,” kejar Ilham.

                “Pakai seragam jas,” jawab Aya mulai bete.

                “Pistolnya gimana? Apa peralatannya canggih? Kayak James Bond gitu ya?”

                “Iya, kayak James Bond. Miriiiip banget malah. Pokoknya apa yang lo liat di James Bond, itulah gue. James Bond itu niru gue!” sahut Aya asal. Kenapa ya gue baru sadar teman gue ini rese banget, atau gue yang jadi aneh kelamaan di negeri orang, batinnya.

                “Uuuuh…. Jadi lo sering kebut-kebutan sampai mobil penyok  jadi kayak beca itu, mantaaap!”

                Aya garuk-garuk kepala, dikiranya serius ya? Mana ada polisi sampai segitunya ngejar penjahat. Yang lebih diutamakan itu keselamatan warga sipil. Ilham benar-benar terobsesi dengan yang namanya aksi semacam itu, biasa korban film action.

                Action? Aya jadi teringat sesuatu.

                “Ei, Ham, gimana kalau kita ke LA. Tapi singgah ke Las Vegas dulu di Nevada, kerumahku,”usul Aya.

                “Ngapain ke LA. gue udah sering ke situ, nama gang-gangnya aja gue hapal.”

                “Sombong lo. Mentang-mentang backpacker. Lo boleh hapal seluk-beluk LA tapi bukan berarti lo bertemu dengan semua orang LA kan?”

                Aya ambil napas. “ Gue pengen lo ketemu dengan seseorang di sana. Pokoknya lo bakal jantungan. Hidup orang ituberubah drastis, ah, pokoknya lo liat aja ntar.”

                “Emangnya siapa?” Ilham jadi penasaran. Lagi pula dia masih ada masa break selama setengah bulan, sebelum kembali terbang ke negara wafer tango, Itali. Masih bisa keliling bareng Aya.

                “Orangnya…. memilih jalan hidup yang…” Aya menerawang bingung. “Anu, ah, pokoknya ntar lo juga tau. Yang musti lo persiapkan…” Aya mengetuk kepala bagian pinggir dengan telunjuk, “… cuma mental untuk kemungkinan terburuk pas l ketemu orangnya.”

*****

                “Hasyim!”

                Laki-laki itu menggosok-gosok ujung hidungnya.

                “Siapa lagi bicarain gue? Maklum orang terkenal ,”dengusnya di atas meja café di pinggiran pantai daerah Santa Monica, Los Angeles. Sepatu kotornya membuat jijik sepasang ABG yang lagi bermesraan, sekaligus kaget karena tiba-tiba ada orang main loncat aja ke meja mereka.

                “Oh, sorry. Gue nggak liat ada orang, hehe…” Dua ABG itu bingung dengan bahasanya, yang pasti mereka tahu, laki-laki tadi minta ma’af.

                 Setelah menyadari di belakangnya lima  orang berpakaian berandal masih mengejarnya, laki-laki dengan sweater itu melesat di antara meja-meja restoran outdoor dan para pejalan kaki yang memadati Santa Monica. Wilayah kota sebelah barat ini memang terkenal dengan 3rd Street Promenade yaitu sebuah jalan yang khusus untuk pejalan kaki yang ramai dengan toko dan restoran, serta pantainya yang indah.

                Salah satu dari lima berandal itu mengeluarkan sepucuk pistol dari balik jaket dekilnya. Tapi tidak lama setelah itu dia roboh secara misterius. Laki-laki bersweater tadi tersenyum, di jarinya terselip tiga jarum.“Baru make satu.”

                Laki-laki tadi kembali lari dengan mendengarkan instruksi dari headset yang tesemat di telinga. ”Giring aku ke tempat yang aman dari orang banyak, di sini nyawa banyak orang terancam” pintanya.

                Tak lama dia sudah berhasil lepas dari orang banyak. Sekarang di sekelilingnya cuma gedung-gedung dan gang-gang suram. Laki-laki itu baru pertama kali ke sini. Orang-orang tadi masih betah mengejar.

                “Di ujung jalan itu, belok kanan,” kata pemberi instruksi. “Sampai jembatan lihat ke bawah di situ sudah ada Marco menunggu dengan truk bak terbuka. Anda loncat saja ke bak tepung itu,”lanjutnya.

                 Pas sampai di ujung jalan, laki-laki itu pun langsung belok ke kiri dan dia terkejut melihat jalannya buntu. Terhalang  tembok menjulang tinggi di antara dua gedung.

                “Mana jembatannya?!”dampratnya ke mic mini.

                “Kata saya belok kanan, tapi Tuan beloknya ke kiri,”protes instruktur tak mau disalahkan.

                “Aduh kenapa gue jadi oon gini, masa kanan dan kiri aja ketukar,“salak Azmie dalam hati. Dia harus bertarung sendiri, Marco terlalu jauh dari situ, tak ada waktu menunggunya. Satu lawan empat orang besar-besar. Yeah!

To be continued…

The Legend of 10 (part I)


              Di sepanjang siring pinggiran Masjid Sabilal hingga Pantai Jodoh (PJ) serta  bahu jembatan Pasar Lama, ramai dengan fishman (manusia ikan, sebutan untuk pemancing mania). Sesekali terdengar katrol pancingan di putar. Banyak berjatuhan korban. Korban berupa ikan tak berdosa yang tersangkut di kail.

                “Akhir-akhir ini ikannya pada rame. Biasa, lagi musimnya. Malam ini saja box bapak hampir penuh, hehe… padahal baru satu jam. Kalau kamu, udah dapat banyak belum?” Seloroh bapak bertopi, diakhiri dengan pertanyaan. Si bapak mengisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskannya ke ruang  malam.

                “Mas?” Si bapak memastikan apakah orang di sebelahnya, yang diajaknya ngobrol barusan mendengar atau tidak. Orang bertudung sweater itu hanya diam. Jangan-jangan dia tertidur, pikir si bapak. Si bapak membiarkan saja. Dia kembali sibuk dengan kailnya yang bergerak-gerak.

                “Wah, dasar ikan rakus,” ucap si bapak sumringah.

*****

                Qori, dari balik tudung sweater, sebenarnya mendengar sayup-sayup suara bapak di sebelahnya. Timbul tenggelam oleh suara dari headset sadapan. Dia lagi nguping pembicaraan orang yang mengincarnya.

                “Ok, target tertangkap. Titik koordinat di…” suara dari headset.

                “Tunggu dulu,” sahut suara yang lain memotong. Kelihatannya ini pembicaraan dua orang, antara operator dan polisi lapangan. “Tidak usah berbelit-belit langsung kirimkan map-nya saja.

                “Drreet… Drreet… Drreet…”

                “Shit, sinyal jelek!” umpat Qori. Dia melirik bapak di sampingnya tadi, yang lagi asyik dengan HP-nya.

                “Pantesan, lagi pake HP rupanya.” Qori menjauh, mencari sinyal yang lebih bersahabat. Belakangan ini wirelesnya memang rada-rada buruk. Tidak bisa dekat-dekat benda yang bersinyal: radio, TV dan sejenisnya.

                “…dah….r…rim…” Masih putus-putus.

                “Ok….dah….masuk.” Agak membaik.

                “………….” Ya ampun, hilang sama sekali! Hampir saja Qori membanting  headset di telingannya. Tapi…

                “……..Pantai Jodoh.” Mendengar kalimat terakhir tadi, yang secara kebetulan disambut oleh wireles yang lagi baik hati, membuat Qori bertepuk tangan. Tepat, lokasinya, di mana dia ‘main-main‘ dengan laptopnya sekarang telah terlacak. Kali ini dia merasa benar-benar tertantang.

                “Ketahuan ya. Hmmm…, lumayan hebat. Kalo gitu lain kali gue harus nyari ‘pintu belakang’ baru nih. Hahaha…”

                “Pantai Jodoh! Go go go!*terdengar suara sepatu berlarian*” Suara dari headset sadapan. Qori membuang headset tersebut. Dia harus bergerak cepat kalau ingin selamat. Dia segera ke jok belakang mobilnya yang diparkir tidak jauh dari PJ. Laptop yang masih menyala diraihnya. Dia tutup display monitor dan membawanya ke pinggir Sungai Martapura.

                “Sayang…” Qori memeluk laptop rakitannya,”…sebenarnya berat hatiku melepaskanmu, tapi ini harus terjadi, soalnya kalo kita tetap bersama, aku bisa ketangkep. Ini saatnya berpisah.” Menghapus airmata.

                Qori menenggelamkan ‘kekasihnya’. Secara finansial apalah arti sebuah laptop tadi, dibandingkan uang yang telah dia crack malam ini. Dengan uang itu dia bisa merakit ratusan bahkan mencapai ribuan laptop.

                Qori memutuskan bercerai dari ‘kekasihnya’. Logikanya, setelah lokasi tempatnya beraksi ketahuan, tentu kawasan PJ serta jalur akses keluar masuk kawasan tersebut diblokir seluas radius beberapa mil. Jika mau keluar dari kawasan PJ, dia harus melalui razia ketat. Seandainya membawa laptop ketika melalui razia, sama saja mengumpan keyakinan kepada Dajjal (pembohong besar).

                Bagaimana kalau tetap di tempat saja? Dengan begitu, bukannya tidak perlu melalui razia. Kalau seperti itu tidak ada bedanya dengan duduk dirahang Tiranosaurus kelaparan. Memang betuldia tidak perlu melewati razia,  tapi razia yang melewati dia! Mau tidak mau dia harus berpisah dengan laptopnya.

                Polisi elit berdatangan. Sebisa mungkin mereka menyamarkan  keberadaan agar tidak terlalu mencolok.  Mereka selalu menunjukkan id card, seolah dengan benda pipih dan gepeng itu, mereka bisa menggeledah barang milik orang seluruh dunia.

                Qori memilih diam di tempat. Dia duduk di belakang pancingannya. Alasannya, dia cuma ingin tahu apa yang akan terjadi. Lagi pula dia aman. Semua bukti yang mengarah kepadanya sudah dia bersihkan semua, menurutnya.

                Kalaupun laptopnya ditemukan, itu tidak akan membahayakannya. Tidak ada informasi tentangnya  satu pun di laptop itu. Dan ternyata benar, laptop itu serta headset sadapan berhasil ditemukan. Padahal polisi-polisi elit ini baru tiba sepuluh menit yang lalu. Benar-benar hebat.

                Razia di PJ tidak tidak berlangsung lama, lantaran bantaran Sungai Martapura hanya ada para pemancing dan segelintir orang lainnya.

*****

                Di antara polisi elit yang memakai pakaian rapi, ada seorang lelaki 21 tahunan yang mengenakan pakaian ‘asal-asalan’: celana jeans pensil dipadu kaos oblong putih bergambar doraeman kentut di depan wajah sapi yang kebetulan nunduk.

                Kendati demikian, dia kelihatan akrab dengan para polisi elit itu, seperti bagian dari mereka. Sewaktu razia, dia hilir mudik sendirian memerhatikan orang-orang di sekitarnya, dengan tatapan nyalangnya. Sesekali dia mengemut lolipop di mulutnya. “Puts…”

                “Pak pinjam pancingan sama box sebentar ya Pak?” pintanya kepada seorang pemancing.

*****

                “Belakangan ini bener-bener hoki bagi Fishman kayak kita-kita ini. Baru juga bentar, box gue udah gendut gini. Emang sih jarang ada anak muda kayak kita ini yang  mancing di sini, kebanyakan bapak-bapak. Tapi gue cuek aja, habis mancing tuh hobi gue yang udah jadi darah daging sih. Kalo lo, motif mancingnya apa?”

                Qori terkesiap dari lamunannya. Tiba-tiba saja ada yang ngajaknya ngobrol, panjang lebar malah, sok akrab. Tapi tetap saja cuek bebek. Sebenarnya Qori bukan sembarang melamun. Otaknya kesana-kemari mencari ide, bagaimana trik mengambil uang hasil bobolannya malam ini dari ATM tanpa ketahuan? Gara-gara kecolongan malam ini, otomatis nomor rekening, PIN (dan kawan-kawan) untuk menampung uang crack-nya ikut ketahuan.

                Qori yakin pihak kepolisian elit tidak mengirimkan surat perintah pemblokiran rekening kepada pihak bank, sebagai jebakan. Barangkali cracker-nya (dalam kasus, Qori) teledor dan mengambil uang di ATM seenak makan jelly, tanpa menyadari ada firasat bahaya.

                Namun Qori tidak sebodoh itu dikelabui. Dia tahu, ketika dia akan mengambil di sebuah ATM, pasti bakal terlancak GPS (Global Positioning System) khusus lagi mutakhir yang hanya dimiliki oleh pemerintah, dan posisinya akan ketahuan seperti kejadian malam ini.

                “Nggak diambil aja ya?” kata Qori konyol. “Aduh…, sayang kalo nggak diambil.”

                “Kenapa? Ikannya nggak matuk?” tanya Ariandi.

                Qori menatap pemancing di sampingnya, yang sempat dia cuekin tadi.

                “Perkenalkan nama gue Ariandi.” Dia mengulurkan tangan. Qori menyambut jabatan  Ariandi.    “Gue Qori.”

                “Pancingannya pasti mandul ya?” tebak Ariandi. “Soalnya dari tadi muka lo ancur.”

                “Nggak kok, box gue udah cukup berisi,”Qori menyahut.

                “Oh kirain tadi mandul.”

                “Nggak, malah malam ini gue banyak dapat ikan peda.

                Peda? Sepertinya Qori terlalu banyak bicara di depan orang berbahaya seperti Ariandi.

                Ceezz… kilatan cahaya kurus melintas di samping kening Ariandi (seperti Conan).

                Ariandi jadi tambah bernafsu ke jenjang selajutnya dengan pertanyaan, “Besar nggak? Liat ya?” Ariandi membuka tutup box. Ternyata isinya benar-benar ikan peda.

                “Lumayan besar ya…”komentar Ariandi,”…bohongnya,”lanjutnya sangat pelan. Qori tidak mendengar lanjutan itu.

*****

                “Untuk sementara hasilnya positif,”kata Ariandi kepada para polisi elit. Dia melanjutkan,”Di antara semua orang dia yang paling mencurigakan. Pada kebiasaan motif orang memancing bisa hobi atau untuk terapi menghilangkan stres1. Orang yang hobi, tentu saja dia bakal larut dengan pancingannya. Sedangkan orang yang lagi stres sebisa  mungkin tetap fokus ke pancingan agar bisa melupakan stresnya sejenak. Dua-duanya mengharuskan fokus ke pancingan. Sementara orang itu tidak. Dari tadi perhatiannya lepas  pancingan. Saat dia lengah saya coba angkat pancingannya, saya lihat di ujung kail tidak ada umpannya. Mana ada orang memancing di sungai seperti ini tanpa umpan. Pasti ada maksud terselubung kenapa dia berada di sini sebagai pemancing  yang sebenarnya dia tidak ingin memancing.

                “Tadi dia  juga bilang, dia dapat banyak ikan peda hasil tangkapannya di sungai ini. Mungkin dia bodoh bodoh pintar, sudah jelas peda itu tempatnya bukan di sungai seperti ini. Saya yakin peda tidak akan tersesat ke sungai ini. Kalau pu n ada, paling tidak itu peda yang jatuh dari belanjaan ibu-ibu dan peda itu pasti sudah koit. Anehnya lagi, peda di dalam box dia  itu sudah pucat. Jika baru dipancing malam ini harusnya masih segar.”

                Ariandi memaparkan analisisnya.

                “Jadi baiknya sekarang kita tugaskan beberapa anggota untuk mengawasi dia, begitu?”

                ‘JANGAN!!!”

                Semua polisi terperanjat akibat teriakan Ariandi. Bahkan ada yang misuh-misuh.

                “Maaf, saya terlalu bersemangat. Tapi mohon biarkan saya yang menyelidikinya sendiri agar tidak terlalu mencolok.”

                “Baiklah kuserahkan padamu,”ucap Khalid, komandan regu. “Kalau ada informasi atau butuh bantuan segera  hubungi kami. Kita tidak tahu apa dia  punya semacam bodyguard seperti sniper misalnya, yang memproteksinya.

                “Tenang. Biarkan saya nge-date bareng dia.”Ariandi menggigit lolipopnya hingga remuk, dia betul-betul PD bahwa giginya lebih tangguh dari pada permen gula itu. Kan rutin sikat giginya.

Efek Samping Stres (ESS)

            Susahnya jadi orang dewasa itu banyak masalah, dan masalah itu kakak beradik dengan stres. Belakangan aku mengaku udah dewasa. Yah, paling nggak aku remajalah. Otomatis selain jenggotku makin banyak, masalahku juga ikutan numpuk.

            Kalau sudah banyak masalah plus capek, pasti bawaannya stres mulu. Dari kamar diberantakin orang nggak bertanggungjawab sampai cucian di baskom membukit. Pusing di asrama, cari angin keluar.  Di pintu asrama….. lagi-lagi sandal dikepet kampret! Terpaksa balas ngepet ke lain. Masalah madinglah (aku penanggung jawab mading. Deadline naskahlah. Kiriman ludeslah. Rambut semraut, padahal bentar lagi ada razia rambut. Belum gosok gigi. Tangan kesetrum mulu. Digosipin orang. Kalo kebanyakan makan sakit perut. Tapi kalo nggak minum malah kehausan (oke, dua yang terakhir aku bisa terima dengan lapang dada).

            Kalo udah stres, aku tuh jadi blingsatan bin bringasan. Tapi aku nggak separa Azmie. Temanku dari Negeri Puntik itu, kalo stres bisa makan orang, jadi lebih baik cepat-cepat mengungsi dari pada kena damprat.

            Kalo aku tuh orangnya sabar, ramah, dan manis. Namun sesabar, seramah dan semanis-manis apa pun orang itu pasti punya hidung, maksudku bisa marah juga. Minimal aku melampiaskan kekesalanku kepada benda mati. Salah satu targetnya adalah sandal!

            Pas lagi stres-stresnya, aku sukanya jalan ngesot. Al hasil setelah perdebatan sengit, para ulama fisika memutuskan: daya gesek antara sandal jepit dari karet dengan aspal, maka harus ada salah satu yang kalah.  Dalam kasus ini sandal lebih lunak dari pada aspal, berarti sandal keluar sebagai pekalah.

            Aku pun berduka lara setelah mengakui fatwa ulama fisika ini. Sandalku jadi lebih cepaat tipisnya. Ini ESS yang pertama. Namun sukurnya, aku sempat mengambil kesimpulan yang berharga: kestresan seseorang dapat diukur dari kecepatan menipisnya sandal miliknya.

            Pernah juga saking stresnya, aku jadi sakit perut (iyah, ngaku, tadi pagi kebanyakan makan). Tujuan selanjutnya adalah WC. Aku pun  mengenakan kostum kebangsaan. Sarung yang dipakai secara horizontal, menutupi bagian pusar ke bawah, kaos oblong, menutupi pusar ke atas, serta gayung yang tangkainya patah.

            WC terdekat dari asrama berjarak 10 meter. Namyanya WC 10, coz box-nya ada 10 buah. Tapi sayangnya di sini nggak ada operatornya, jadi mau ngapain juga nggak bakal ada yang ngeluarin. Aku jalan ngesot. Sampai WC aku masuk dan bantin pintu. Blam! (orang stres emang bawaannya gitu). Lalu terdengar bunyi-bunyian menakjubkan dan suara air, byur….byur…. Selesai.

            Aku buka pintu. Macet. Ada apa ini? Aku lebih keras narik pintnya. Tetap nggak kebuka. Aku sisipkan tangan ke celah pintu bagian atas yang renggang. Sekuat tenaga menarik, sampai-sampai kaki mendongkrak ke tembok. Pintunya masih diam. Aku pernah liat TV dan baca novel, tokohnya terperangkap di lift dan tempat keren lainnya. Tapi aku…aku…kekkunci di WC! Kenapa juga tadi pake acara banting pintu segala.

            Akhirnya pintu WC bermurah hati seusai perjuangan kerasku menarik pintu dari celah bawah. Tadi menariknya pake pose nungging, jadi pinggang encok, dan telapak tanganku memerah, hampir luka. ESS ketiga.

*****

            Malam itu aku capek banget. Baru nyelesain masang tikar asrama. Sedari siang tadi aku banyak menuai protesan atas beberapa tugasku yang mengecewakan, menurut mereka. Aku mulai pusang. Tiba-tiba aku mendadak pengen pipis (tiap stres, bawaannya ke belakang mulu. Jangan-jangan ada hubungannya?)

            Waktu itu sudah tengah malam. WC 10 itu keliatan angker banget. Habis, letaknya di pojokan sih. Lagi pula aku was-was, gimana rasanya kekunci di WC angker tengah malam begini.

            Terpaksa nyari WC lain, lebih jauh. “Mana jauh, hujan lagi!” saat itu gerimis turun. Aku jalan blingsatan di atas trotoar dari ulin, di bawahnya got. Tapi kali ini nggak ngesot, aku jalan menghentak-hentak. Bagiku bunyi derak teriakan ulin itu adalah sebuah pelampiasan dan braaak….!

            Yess, kakiku sukses nyungsup ke got. Ulinnya jebol, belubang. Landauku lecet parah dan dalam hitungan detik darah keluar lumayan banyak. Kurasakan sendi di pangkal pahaku ngilu, akibat hentakan. Aku musti meneruskan pengembaraan ke WC, mengingat ini emergency, mana mungkin aku pipis di sembarang tempat. Gerimis pun membasahi luka perih.

*****

            Belakangan ini, sesudah beberapa moment terjadi, aku melampiaskan kestresanku dengan tidur. Alasannya sederhana: lebih aman.

 

 

 

Senin, 04 Januari 2010

.
.

Na, sekarang kita sudah berada di tahun 2010. 2009 lalu menyisakan banyak hal. Tapi menurut sebagian orang mengenang adalah buang-buang waktu. Namun tidak adil rasanya jika tidak menyertakan paham yang lain: orang bijak banyak pengalamannya. Itu pun dengan catatan musti bisa mengambil pelajaran dari pengalaman tersebut.

Ngomong-ngomong soal pengalaman, aku ada lho satu pengalaman dari hari-hari 2009, yang amat berguna di tahun 2010 ini. Sedikit nyeleweng, seperti yang telah diketahui, akhir 2009 tadi peraturan berkendara mulai dipertegas dan ditambahkan. Di antaranya lampu kendaraan musti nyala, belok kiri ikuti syarat lampu untuk di beberapa persimpangan empat dan spion harus amien (dua-duanya terpasang). Nah, aku ini kalo berkendaraan pasti bawaannya ngayal mulu. Sudah kebiasaan sih... Makanya aku sering lupa ini dan itu, termasuk menjalankan peraturan di atas.

Kalo masalah spion sih nggak papa. Soalnya spion tuh permanen, kalo dipasang ya nggak dilepas lagi. Tapi yang jadi masalah itu 'belok kiri' dan 'lampu'. Nah, dalam menghadapi era yang serba ketat ini, aku harus lebih teliti, salah satunya dalam mengamati rambu-rambu.

Pernah di suatu pagi minggu akhir bulan ramadhan 2009 lalu, aku berurusan dengan yang namanya rambu-rambu. Waktu itu aku berkendara keliling-keliling nggak karuan di area Pantai jodoh dan sekitar Masjid Sabilal Muhtadin (waktu itu belum ada hari bebas kendaraan bermesin). Tau-tau pas melintas dari Pantai Jodoh ke arah Jembatan Merdeka di samping siring Sungai Martapura yang di depan Masjid Sabilal itu, aku melihat trafficlight-nya hijau. Aha, tepat sekali, aku langsung tancap gas, kalau-kalau keburu merah lagi. Bes.... dengan kerennya aku tikung ke kanan! Sumpah, aku nggak nyadar ada rambu-rambu di larang belok kanan di samping trafficlight itu, sekaligus lupa pesan dari bokap: di sini dilarang belok kanan, jadi lurus aja dan mutar di putusan jalan di sana.

Waktu nyebrang itu, aku hampir saja tertabrak kendaraan dari jalur sebelah. Aku pun mendengus dalam hati: yang hijau kan di jalur aku, berarti di jalur dia merah, eh... main terobos aja, hampir aja ketabrak. Massin!

Tanpa sadar aku yang salah, dan tanpa sadar pula polisi yang lagi jaga di pos samping lampu lalu lintas yang kulewati tadi, mengincarku. Aku ngeloyor santai di jalan samping Sabilal, tanpa firasat apapun. Polisinya nggak ngejar dan akunya nggak merasa bersalah. Dan setelah sampai di bundaran, aku belok kanan, menuju bundaran KB dekat kediaman dinas gubernur kita.

Belum lagi melintas bundaran KB. Sekitar sepuluh meter, aku melihat sepasang remaja diberhentikan dua orang polisi, kayaknya sih ditilang gitu. Tanpa kuduga, salah seorang polisi yang menilang itu memberhentikanku juga. Aku pun berhenti tanpa perlawanan yang berarti (wes...). Dalam pikiranku, yah... palingan periksa kelengkapan surat-menyurat. Tenang, aku kan taat dengan peraturan, jadi semua persyaratan sudah kupenuhi.

Waktu aku tepat berhenti di depan polisi tadi, dia nanya temannya lewat walkie-talkie: kendaraan Juviter warna hijau, iya kan? Suara di seberang sana menyahut: iya!

Aku mulai merasakan firasat buruk. Aku telah diincar! Kenapa? Pasti ada alasannya.
"Mana STNK sama SIM kamu?" pinta polisi itu. Aku kasih.

"Kamu tadi habis lampu lalu lintas belok ke kanan kan?" Aku mengangguk.

"Itu pelanggaran. Di situ cuma boleh lurus atau belok kiri."

"Tadi nggak liat rambunya," aku nyari alasan, tapi memang beneran nggak liat kok.

"Kalau nggak percaya, coba balik lagi ke sana." Aku di suruh balik lagi. Ya, aku turutin saja, tanpa menyadari apa yang akan terjadi. STNK dan SIM-ku ditinggal di polisi tadi.

Setelah sampai aku disambut polisi berbadan gede. Lalu aku lepas helm. Polisi itu tersenyum, tapi di mataku itu sebuah 'bala'.

"Coba liat di samping lampu merah itu. Nah, adakan rambu dilarang belok kanan." Aku cuman mengangguk hambar. "Iya. Tadi nggak keliatan," kataku.

"Sekarang keliatan, nggak?Harusnya kamu hormatin rambu itu, bukan malah dilanggar. Ayo sana, beri hormat sama rambu-rambunya, kalau perlu cium sekalian."

Mati aku! Masa harus melakukan hal semacam itu di pinggir jalan. Seorang polwan tak jauh dari situ tertawa, mungkin membayangkan yang akan kulakukan.

Aku nurut saja. Aku berharap dengan ini polisinya senang dan nggak nilang.

Aku berdiri di pembatas jalan, penghalat dua jalur, dan memberi hormat ke rambu-rambu tadi dengan sok acuh sama tatapan orang-orang. Arrgh... mana pas lampu merah lagi, mobil dan kendaraan pada bertumpuk di zebra crosss, di sebelah kanan dan kiriku. Di balik punggungku melintas sekelompok cewek lagi jogging. "Ih... ada yang kena sanksi," cemooh seorang dari mereka. Ampun dah...

Seusai hormat, aku cepat-cepat kembali ke polisi tadi, tanpa nyium dulu, ingat dan camkan aku nggak nyium rambu-rambu itu!

"Ya sudah sekarang rambunya benar-benar keliatan kan? Kalau gitu balik lagi ke polisi sana dan pinta sama dia 'surat cinta' yang merah itu." Mendengar itu aku benar-benar merah, arrrggh.... akhirnya kena tilang juga. Apalagi surat yang merah itu kalau buka surat tilang.

Berkat pengalaman itu, aku menjadi lebih bijaksana dalam menikungkan kendaraan.

Rabu, 30 Desember 2009

Akhir dari Perburuan

Selama beberapa hari ini akumelakukan perburuan. Yah, mumpung lagi liburan yang berarti aku bisa leluasa ke warnet, tidak terkurung di dalam pondok. Ya, tempatku berburu memang tidak di terminal atau di Pantai Jodoh, apalagi di hutan, tapi aku berburu di warnet, dalam dunia maya.

Terhitung mulai dari hari ahad, yang kunamai sebagai 'Hari F5' (baca potingan hari F5) hingga hari ini, Kamis 31 Des. di penghujung tahun 2009, aku bertekad mengakhiri aksi perburuan ini.

Sebetulnya sewaktu hari F5 aku sudah mendapatkan buruanku di warnet Oby,net, yaitu film kambing jantan full movie yang terbagi dalam 15 file. Semuanya sikses kudonlot, tapi sayang beribu sayang, sebelum file donlotan itu ku-send to Flashdisk listriknya padam. Zeeep... dalam sekejap monitor dan kawan-kawan mati total.

Aku tak menyerah, sebab aku adalah laki-laki. Di lain waktu, Selasa 29 Des. 09 aku berburu lagi. Kali ini di eEngsty.net. Dan sukses semua file kambing jantan dalam genggamanku (baca:Flashdisk). Semua data di folder donlotan sudah ku-check, dan ternyata betul semua sudah ku-send to.

Sesampainya di rumah ku buka flashdiskku. Baik-baik saja. Kubuka folder donlotan yang kunamau Ilham. Nggak terjadi apa-apa. Kuputar satu file dari kambing jantan, bisa aja. Setelah itu ku-rename nama-nama file-nya, biar mudah ngenalinya gitu,

Setelah keluar dari folder Ilham, dan ngerapiin Folder lainnya, aku balik lagi ke folder Ilham. Dan di situ aku mendapati keanehan tersendiri. Kok, icon foldernya berubah ya... Bentuknya sih masih folder icon pada umumnya, tapi agak kecilan dan seperti dilapisi oleh kaca persegi sama sisi di permukaannya. Kucoba doubleclick. Tiktik... Kok nggak kebuka ya... Ah, mungkin kurang cepat. Lagi, tiktik... Masih nggak kebuka. Lho ada apa ini. Ato touchpad-nya rusak ya? A, nggak mungkin, slelect aja masih bisa.

Kucoba lagi klik sekali di folder Ilham, trus di-ENTER. Hah, nggak bisa dibuka juga ada apa ini. Saat itu aku deg-degan setengah hidup. Kambing jantan kan film yang sangat ingin aku tonton selama ini. Dengar-dengar sih, di bioskop kalimantan filmnya nggak diputar, cuma di pulau jawa doang. Apalagi CD or DVD-nyam, nggak ada yang jual, mau nggak mau musti donlot.

Saat-saat aku kebingungan, tiba-tiba icon folder Ilham tadi berubah lagi, metamorfosis yang lebih mengenaskan. Iconnya jadi berbentuk selembar kertas kosong (icon di windows Vista apabila file tersebut tidak bisa dibuka dengan aplikasi yang tersedia di com.). Tapi bukannya buka folder itu cuma pakai explorer, ini malah nggak bisa dibuka, barang setengah (emang ada setengah)

Aku mulai curiga ini pekerjaan siapa. Aku gerakan cursor ke folder Ilham tadi dan ternyata benar, ukuran file tersebut juga ikut berubah yang asalnya ratusan MB, jadi 4 KB doang! Sial, untuk sementara aku menduga mungkin ini perbuatan virus atau semacamnya.

Kemudian di lain kesempatan. Aku berburu lagi di warnet yang baru kukenal. Tapi di situ loadingnya bikin bete. Jadilah aku donlotannya cuma 3 file. Nggak papa lumayan, bisa nyicil.

Besoknya aku lunasi cicilanku dengan sempurna di Engsty.net, yaitu hari ini, hari Kamis 31 Desember di penghujung tahun 2009, aku akhiri perburuan film kambing jantan full movie dengan happy ending. Yeah...!

Senin, 28 Desember 2009

Ujian Kelabu

Monday, 28 Desember 2009

Hari ini ulangan terakhir. Ulangannya bangai! Bayangin semua soal yang keluar lepas dari bacaanku. Ceritanya kan kemarin pas hari ahad habis ulangan aku refresh dulu, aku manamainya hari F5, buat yang doyan ngecom pasti tahu. Biasalah jalan-jalan hunting warnet(baca postingan sebelumnya). (Flashback bentar)Makanya pas malamnya aku capek banget. Baru juga pukul 10 malam aku udah ngorok(bayi banget ya). Sebelum tidur tuh aku cuman baca-baca kitab hadist dikitan aja.

Pas pukul 3 dini hari aku kebangun. Baca dan hapal satu hadist, trus tidur lagi, kebangun lagi baca dan hapal satu lagi, trus tidur lagi, baca dan hapal atu lagi trus tidur lagi. Selalu begitu sampai kau hapal delapan hadist, pas banget bab yang diujikan kan delapan bab, jadi tiap bab diwakili oleh satu hadist. Biasanya pertanyaannya mudah: اذكرحديثامن باب تحريم الظلم! (sebutkan satu hadist dari bab haramnya berbuat dzolim) misalnya, yah tinggal tulis satu hadist selese. Atau: تمم الحديث الآتي! (sempurnakan hadist yang akan datang, maksudnya isi yang bolong-bolongnya) biasanya hadist yang disempurnakan itu juga hadist yang pertama. Jadi intinya kalau soalnya nggak kayak tadi, tamatlah aku.

Esok harinya, soal bpun dibagi. Sebelum melihat soal aku berdo’a. aku baca soal pertama. Soal ujian di sini tuh rata-rata cuman sepuluhan, tapi jangan anggap remeh pertanyaannya dalam format essai, satu soal aja jawabannya minta ampun cerewetnya.

Soal-soalnya sih aku rada-rada lupa gitu, yah kurang lebih beginilah:

Soal pertama. Ah, disuruh menyempurnakan hadist, tapi bukan hadist yang pertama. Perasaan ini sih hadist kedua tapi aku nggak hapal juga, cuman kebaca lewat doang. Yah, nggak papa cuman kecolongan satu soal, masih banyak soal yang lainnya yang menanti kejeniusan aku.

Soal kedua. Hah, menyempurnkan hadist lagi, dan lagi-lagi bukan hadist pertama yang kuhapal. Bahkan lebih parah dari soal peratama, kali ini aku malah nggak tahu kalau hadist di soal kedua ini ada di bahan ulangan. Aku agak sedikit gelisah. Tapi, ah, nggak papa, cuman kecolongan dua soal masih ada banyak soal di bawahnya lagi. Aku pun berlanjut ke pertanyaan berikuktnya.

Soal ketiga. Lho yang ditanyakan maksud dari suatu istilah yang ada di catatan kaki, biasanya letaknya di bagian bawah halaman, tulisannya kecil-kecil dan imut-imut. Biasanya tiap kali ulangan atau ujian hadist aku pasti bakal ngapalin catatan kaki. Nggak tau kenapa ulangan kali ini aku lupa ngapalnya. Udah kecolongan tiga nih. Wajahku agak berubah. Sebelumnya ini nggak pernah terjadi. Biasanya kalau nggak dapat itu di pertanyaan yang akhir-akhir. Kalau yang pertama yang mudah-mudah dan soal berikuktnya makin sulit aja. Ini baru pertanyaan yang awal-awal udah nggak dapat, apalagi seterusnya. Biar bagaimana pun aku harus tetap optimis. Yak, lanjut ke soal berikutya.

Soal keempat. Aku udah nggak tau harus berbuat apa-apa. Lagi-lagi lepas dari bacaanku. Aku mulai lepas kendali. Perasaan, aku pengen makan yang buat nih soal kurang belajar.

Soal kelima. Aku kalut. Nggak tau. Apalagi muka belakang bisik-bisik: Ham, nomor 5. Ham, nomor7.ham, nomor 2. Arrggghhh….. Manyuk-manyuk.

Soal keenam dan seterusnya aku udah nggak sanggup lagi mengenangnya, itu terlalu menyakitkan *menyeka ingus*. Kecuali soal kesepuluh, ada titik terang dikiiiiiiit bangeeeeeet.

Setelah menganalisis per mata pelajaran jawaban selama ulangan kali, aku mustahil menjadi rangking satu atau masuk tiga besar bahkan sepuluh besar. Buktinya pas ngoreksi hasil ulangan usul fiqh dah qowaid fiqh (aku n 2pren dapat kepercayaan ngoreksi. Masing-masih aku mendapat nilai 7 dan 6. Sedangkan yang lain rata-rata 8 dan 9 bahkan ada yang sampai nilai sempurna.

Mungkin sudah saatnya aku nggak rangking lagi. Jujur selama ini rangking satu nggak membuatku bangga sedikit pun kecuali pas bagi rapor. Bukan maksdunya aku sombong atau meremehkan rangking satu, tapi di situ aku benar-benar nggak nemuin kepuasan batin. Terlebih ortu, pas tau anaknya rangking satu, dia cuman ngucap Alhamdulillah, dan entah mengapa di kuping terdengar hambar.

Sangat berbeda saat aku SD dulu. Aku nggak pernah rangking. Tau-tau pas ujian kelulusan aku rangking 5. Bah, aku merasa telah mengalahkan A. Einsten. Dan lagi pas awal-awal masuk Al Falah waktu di tingakat tajhizi, semester kedua aku mendapat rangking 3. Aku yang nggak terbiasa rangking ini, merasakan suatu yang sulit dijelasin. Rasa gimana gitu.

Karirku di dunia rangking terbolak-bolik di tiga besar. Yang paling sering di 1 dan di 2. Mungkin karena sudah terbiasa rangking aku tidak meraskan apa-apa lagi. Seperti kebal gitu. Allah telah mengatur segalanya dan dia selalu memilihkan yang terbaik. Oleh karena itu aku beranggapan ada baiknya aku mampir lagi di urutan ke 13, ke 20 atau berapalah, asal jangan 10 dan 3 besar, biar ntar jika aku ada kesempatan numpang di peringkat 1 lagi, aku bisa merasakan rasa yang telah hilang itu.

07.59AM

Hari F5

Sunday, 27 Des. 09
Hari habis ulangan aku diajak ke Banjarbaru. Ya udah aku sanggupi aja. Sekalian refreshing. Biasanya kalau refresh di com tuh tekan F5, jadi aku beri nama aja hari adalah hari F5.
Aku masuk warnet OBY.net dekat UNLAM. wiuhhh.... internetnya cepat juga. Bahkan aku sampai bingung mau donlot apa lagi. Clip Sherina udah. Wannabe udah. Kambing jantan full movie juga udah. Game-game yang asik udah. nge-FB ya juga udah. Apalagi nge-blog juga udah. Menjarah di com warnet juga udah. Ah... senengnya kalau semua warnet secepat ini. Dan aku pun nunggu donlotan game yang bentar lagi selese, abis tu pindahin data donlotan ke plasdisk. Yap semua yang perlu beres.
Pas lagi nunggu donlotan tiba-tiba terjadi sesuatu di luar kepalaku (kalau dalam kepala, itu namanya sakit kepala). Sesuatu yang mengerikan sepanjang sejarah warnet, menakutkan seluruh warneter seluruh dunia, bahkan lebih menakutkan ketimbang internet yang lamban kayak jalannya semut pincang.
Arrefhdgfhdjfjlggggghhhh.... Listrik padam. Hueeekkk...(lho, kok pake acara muah?) semua data yang kudonlot tadi belum kupindah ke Fd-ku. Masih di data D!
Intinya secepat apapun warnet kalau nggak ada listrik seperti lampu nggak ada listirknya, yaitu MATOT (mati total).
PS: Aku sih ke depannya berharap kalau setiap warnet tuh punya jenset atau UPS yang bisa nyimpan listik barang lima menit, biar hal seperti ini nggak terjadi lagi. (Salah aku juga sih naro donlotannya nggak ke Fd.).