Jumat, 05 Februari 2010

The Legend of 10 (part I)


              Di sepanjang siring pinggiran Masjid Sabilal hingga Pantai Jodoh (PJ) serta  bahu jembatan Pasar Lama, ramai dengan fishman (manusia ikan, sebutan untuk pemancing mania). Sesekali terdengar katrol pancingan di putar. Banyak berjatuhan korban. Korban berupa ikan tak berdosa yang tersangkut di kail.

                “Akhir-akhir ini ikannya pada rame. Biasa, lagi musimnya. Malam ini saja box bapak hampir penuh, hehe… padahal baru satu jam. Kalau kamu, udah dapat banyak belum?” Seloroh bapak bertopi, diakhiri dengan pertanyaan. Si bapak mengisap rokoknya dalam-dalam dan menghembuskannya ke ruang  malam.

                “Mas?” Si bapak memastikan apakah orang di sebelahnya, yang diajaknya ngobrol barusan mendengar atau tidak. Orang bertudung sweater itu hanya diam. Jangan-jangan dia tertidur, pikir si bapak. Si bapak membiarkan saja. Dia kembali sibuk dengan kailnya yang bergerak-gerak.

                “Wah, dasar ikan rakus,” ucap si bapak sumringah.

*****

                Qori, dari balik tudung sweater, sebenarnya mendengar sayup-sayup suara bapak di sebelahnya. Timbul tenggelam oleh suara dari headset sadapan. Dia lagi nguping pembicaraan orang yang mengincarnya.

                “Ok, target tertangkap. Titik koordinat di…” suara dari headset.

                “Tunggu dulu,” sahut suara yang lain memotong. Kelihatannya ini pembicaraan dua orang, antara operator dan polisi lapangan. “Tidak usah berbelit-belit langsung kirimkan map-nya saja.

                “Drreet… Drreet… Drreet…”

                “Shit, sinyal jelek!” umpat Qori. Dia melirik bapak di sampingnya tadi, yang lagi asyik dengan HP-nya.

                “Pantesan, lagi pake HP rupanya.” Qori menjauh, mencari sinyal yang lebih bersahabat. Belakangan ini wirelesnya memang rada-rada buruk. Tidak bisa dekat-dekat benda yang bersinyal: radio, TV dan sejenisnya.

                “…dah….r…rim…” Masih putus-putus.

                “Ok….dah….masuk.” Agak membaik.

                “………….” Ya ampun, hilang sama sekali! Hampir saja Qori membanting  headset di telingannya. Tapi…

                “……..Pantai Jodoh.” Mendengar kalimat terakhir tadi, yang secara kebetulan disambut oleh wireles yang lagi baik hati, membuat Qori bertepuk tangan. Tepat, lokasinya, di mana dia ‘main-main‘ dengan laptopnya sekarang telah terlacak. Kali ini dia merasa benar-benar tertantang.

                “Ketahuan ya. Hmmm…, lumayan hebat. Kalo gitu lain kali gue harus nyari ‘pintu belakang’ baru nih. Hahaha…”

                “Pantai Jodoh! Go go go!*terdengar suara sepatu berlarian*” Suara dari headset sadapan. Qori membuang headset tersebut. Dia harus bergerak cepat kalau ingin selamat. Dia segera ke jok belakang mobilnya yang diparkir tidak jauh dari PJ. Laptop yang masih menyala diraihnya. Dia tutup display monitor dan membawanya ke pinggir Sungai Martapura.

                “Sayang…” Qori memeluk laptop rakitannya,”…sebenarnya berat hatiku melepaskanmu, tapi ini harus terjadi, soalnya kalo kita tetap bersama, aku bisa ketangkep. Ini saatnya berpisah.” Menghapus airmata.

                Qori menenggelamkan ‘kekasihnya’. Secara finansial apalah arti sebuah laptop tadi, dibandingkan uang yang telah dia crack malam ini. Dengan uang itu dia bisa merakit ratusan bahkan mencapai ribuan laptop.

                Qori memutuskan bercerai dari ‘kekasihnya’. Logikanya, setelah lokasi tempatnya beraksi ketahuan, tentu kawasan PJ serta jalur akses keluar masuk kawasan tersebut diblokir seluas radius beberapa mil. Jika mau keluar dari kawasan PJ, dia harus melalui razia ketat. Seandainya membawa laptop ketika melalui razia, sama saja mengumpan keyakinan kepada Dajjal (pembohong besar).

                Bagaimana kalau tetap di tempat saja? Dengan begitu, bukannya tidak perlu melalui razia. Kalau seperti itu tidak ada bedanya dengan duduk dirahang Tiranosaurus kelaparan. Memang betuldia tidak perlu melewati razia,  tapi razia yang melewati dia! Mau tidak mau dia harus berpisah dengan laptopnya.

                Polisi elit berdatangan. Sebisa mungkin mereka menyamarkan  keberadaan agar tidak terlalu mencolok.  Mereka selalu menunjukkan id card, seolah dengan benda pipih dan gepeng itu, mereka bisa menggeledah barang milik orang seluruh dunia.

                Qori memilih diam di tempat. Dia duduk di belakang pancingannya. Alasannya, dia cuma ingin tahu apa yang akan terjadi. Lagi pula dia aman. Semua bukti yang mengarah kepadanya sudah dia bersihkan semua, menurutnya.

                Kalaupun laptopnya ditemukan, itu tidak akan membahayakannya. Tidak ada informasi tentangnya  satu pun di laptop itu. Dan ternyata benar, laptop itu serta headset sadapan berhasil ditemukan. Padahal polisi-polisi elit ini baru tiba sepuluh menit yang lalu. Benar-benar hebat.

                Razia di PJ tidak tidak berlangsung lama, lantaran bantaran Sungai Martapura hanya ada para pemancing dan segelintir orang lainnya.

*****

                Di antara polisi elit yang memakai pakaian rapi, ada seorang lelaki 21 tahunan yang mengenakan pakaian ‘asal-asalan’: celana jeans pensil dipadu kaos oblong putih bergambar doraeman kentut di depan wajah sapi yang kebetulan nunduk.

                Kendati demikian, dia kelihatan akrab dengan para polisi elit itu, seperti bagian dari mereka. Sewaktu razia, dia hilir mudik sendirian memerhatikan orang-orang di sekitarnya, dengan tatapan nyalangnya. Sesekali dia mengemut lolipop di mulutnya. “Puts…”

                “Pak pinjam pancingan sama box sebentar ya Pak?” pintanya kepada seorang pemancing.

*****

                “Belakangan ini bener-bener hoki bagi Fishman kayak kita-kita ini. Baru juga bentar, box gue udah gendut gini. Emang sih jarang ada anak muda kayak kita ini yang  mancing di sini, kebanyakan bapak-bapak. Tapi gue cuek aja, habis mancing tuh hobi gue yang udah jadi darah daging sih. Kalo lo, motif mancingnya apa?”

                Qori terkesiap dari lamunannya. Tiba-tiba saja ada yang ngajaknya ngobrol, panjang lebar malah, sok akrab. Tapi tetap saja cuek bebek. Sebenarnya Qori bukan sembarang melamun. Otaknya kesana-kemari mencari ide, bagaimana trik mengambil uang hasil bobolannya malam ini dari ATM tanpa ketahuan? Gara-gara kecolongan malam ini, otomatis nomor rekening, PIN (dan kawan-kawan) untuk menampung uang crack-nya ikut ketahuan.

                Qori yakin pihak kepolisian elit tidak mengirimkan surat perintah pemblokiran rekening kepada pihak bank, sebagai jebakan. Barangkali cracker-nya (dalam kasus, Qori) teledor dan mengambil uang di ATM seenak makan jelly, tanpa menyadari ada firasat bahaya.

                Namun Qori tidak sebodoh itu dikelabui. Dia tahu, ketika dia akan mengambil di sebuah ATM, pasti bakal terlancak GPS (Global Positioning System) khusus lagi mutakhir yang hanya dimiliki oleh pemerintah, dan posisinya akan ketahuan seperti kejadian malam ini.

                “Nggak diambil aja ya?” kata Qori konyol. “Aduh…, sayang kalo nggak diambil.”

                “Kenapa? Ikannya nggak matuk?” tanya Ariandi.

                Qori menatap pemancing di sampingnya, yang sempat dia cuekin tadi.

                “Perkenalkan nama gue Ariandi.” Dia mengulurkan tangan. Qori menyambut jabatan  Ariandi.    “Gue Qori.”

                “Pancingannya pasti mandul ya?” tebak Ariandi. “Soalnya dari tadi muka lo ancur.”

                “Nggak kok, box gue udah cukup berisi,”Qori menyahut.

                “Oh kirain tadi mandul.”

                “Nggak, malah malam ini gue banyak dapat ikan peda.

                Peda? Sepertinya Qori terlalu banyak bicara di depan orang berbahaya seperti Ariandi.

                Ceezz… kilatan cahaya kurus melintas di samping kening Ariandi (seperti Conan).

                Ariandi jadi tambah bernafsu ke jenjang selajutnya dengan pertanyaan, “Besar nggak? Liat ya?” Ariandi membuka tutup box. Ternyata isinya benar-benar ikan peda.

                “Lumayan besar ya…”komentar Ariandi,”…bohongnya,”lanjutnya sangat pelan. Qori tidak mendengar lanjutan itu.

*****

                “Untuk sementara hasilnya positif,”kata Ariandi kepada para polisi elit. Dia melanjutkan,”Di antara semua orang dia yang paling mencurigakan. Pada kebiasaan motif orang memancing bisa hobi atau untuk terapi menghilangkan stres1. Orang yang hobi, tentu saja dia bakal larut dengan pancingannya. Sedangkan orang yang lagi stres sebisa  mungkin tetap fokus ke pancingan agar bisa melupakan stresnya sejenak. Dua-duanya mengharuskan fokus ke pancingan. Sementara orang itu tidak. Dari tadi perhatiannya lepas  pancingan. Saat dia lengah saya coba angkat pancingannya, saya lihat di ujung kail tidak ada umpannya. Mana ada orang memancing di sungai seperti ini tanpa umpan. Pasti ada maksud terselubung kenapa dia berada di sini sebagai pemancing  yang sebenarnya dia tidak ingin memancing.

                “Tadi dia  juga bilang, dia dapat banyak ikan peda hasil tangkapannya di sungai ini. Mungkin dia bodoh bodoh pintar, sudah jelas peda itu tempatnya bukan di sungai seperti ini. Saya yakin peda tidak akan tersesat ke sungai ini. Kalau pu n ada, paling tidak itu peda yang jatuh dari belanjaan ibu-ibu dan peda itu pasti sudah koit. Anehnya lagi, peda di dalam box dia  itu sudah pucat. Jika baru dipancing malam ini harusnya masih segar.”

                Ariandi memaparkan analisisnya.

                “Jadi baiknya sekarang kita tugaskan beberapa anggota untuk mengawasi dia, begitu?”

                ‘JANGAN!!!”

                Semua polisi terperanjat akibat teriakan Ariandi. Bahkan ada yang misuh-misuh.

                “Maaf, saya terlalu bersemangat. Tapi mohon biarkan saya yang menyelidikinya sendiri agar tidak terlalu mencolok.”

                “Baiklah kuserahkan padamu,”ucap Khalid, komandan regu. “Kalau ada informasi atau butuh bantuan segera  hubungi kami. Kita tidak tahu apa dia  punya semacam bodyguard seperti sniper misalnya, yang memproteksinya.

                “Tenang. Biarkan saya nge-date bareng dia.”Ariandi menggigit lolipopnya hingga remuk, dia betul-betul PD bahwa giginya lebih tangguh dari pada permen gula itu. Kan rutin sikat giginya.

Tidak ada komentar: