Kamis, 03 September 2009

Benar-benar ujian

Ini sudah hari ulangan/ujian ke-8. Soalnya, huwaaa….. syusye minta ampun. Di kala itulah sederetan petaka menghampiri hidupku yang hampa.
Berawal dari malam ulangan ke-8. Yang diujikan adalah mata pelajaran Nahwu dan Lughatul Arabiyyah. Lughat, ah… nggak terlalu nyita pikiran tuh (Ustadz…… masam muhanya, sidin gurunya pang). Bukannya maksud merendahkan, pertanyaannya emang nggak sulit-sulit amat. Nah, yang jadi masalah itu Nahwu, pertanyaannya aja bikin ngungbi, apalagi jawabannya. Lebih-lebih ini…. Ini…. matapelajaran pokok! Nilai di bawah 6, siap-siap saja disayang walikelas (tinggal di kelas… tinggal di kelas… ye….)
Seperti yang sudah aku bilang, petaka ini berawal dari malam ulangan ke-8. Biar mudahnya, mari kita flashback dulu ke waktu siang. Siang itu sangat membakar. Aku paling nggak tahan kalau kepanasan. Mana hari panas, pakai acara mati listrik pula. Kipas jadi nggak berfungsi. Aku mandi keringat. Bajuku sudah jadi kayak jemuran kehujanan. Kulit lengkat lagi. Ciaaaaatt….. aku sudah benar-benar amat sangat nggak tahan sekali.
Aku menyelamatkan diri ke kelas. Saat panas begini bagiku ada dua tempat yang sangat pas untuk dikunjungi, yaitu kutub utara dan selatan. Namun berhubung tempat itu sangat jauh dari sekolahku, yah… di kelas pun jadi (sebenarnya di mushalla juga nggak kalah enaknya, tapi lagi malas aja).
Di kelas aku mondar-mandir nggak keruan. Padahal besok ulangan penting. Tapi aku tidak bisa kosen di kala panas begini! Dalam pikirku, ah nanti saja belajarnya, malam juga bisa. Singkat waktu (ini dia kelebihan menulis, sebentar-sebentar nyingkat waktu) aku telah sampai di malam hari. Waktu itu antara maghrib-i’sya, bukannya belajar, aku malah KKN (kunyuk-kunyuk narai). Habis isya aku kebanyakan makan, jadi malas belajar. Ngantuk.
Namun biar bagaimana pun, aku musti belajar, besok matapelajaran pokok. Aku belajar, sambil rebahan. Tahu kenapa akibatnya. Aku ketiduran. Sukur (sukur dalam artian “untung”, bukan si Sukur ketua ibadah itu) aku terbangun setengah empat pagi Aku gemetaran belum belaja apa-apa. Aku sibuk mencari-cari kitabku. Alamak tertindih ternyata, jadi penyok deh.
Saking stresnya, kumakan kitabku (seandainya ada yang bilang makan kitab itu enak, untungnya nggak ada yang bilang kayak itu). Aku hidup-hidupan (kalau mati-matian, mana bisa aku ikut ulangan) belajar. Nahwu itu, jika ditimbang-timbang, kayak fisika, otak terbanting-banting mikirnya. Akibatna aku nggak sarapan pagi itu. Padahal kalau lapar, aku agak sedikit nggak pintar (kalau kenyang tapintar saikit).
Hitungan menit saja bel masuk bunyi. Aku optimis bakal dapat menjawab semuanya. Soalnya aku sudah mengahapal rumus-rumusnya. Aku bilang pada temanku yang kursinya dekat denganku,
“Zan, mun handak meneron, lajui ja, hari ini aku handak lakas keluar. Parut padih nah. Balum makan.” (beeeh.. keren banget ngomongku waktu itu, sambil nepuk-nepuk perut lagi)

Di kelas…
Lembar soal dibagi.
"إنَالله وإنَاإليه رجڠون" Ucapku.
Aku memang hapal ruumusnya. Tapi kalau pertanyaanya:
"لبناءالأجوف ڽلا ڽة أوجه حركة، بينها"
Jawabanya yang mana? Aku hapal, tapi nggak paham. Ah…. Sia-sia! Biar hapal, tapi soalnya nggak paham, itu berarti sama saja dengan pribahasa “pagar makan tanaman” (silakan temukan benang merahnya antara permasalahanku dengan pribahasa ini, pengomen pertama mendapatkan satu set mug cantik).
Singkat cerita (lagi!) satu demi satu teman-teman yang lainnya keluar. Sampai tinggal beberapa orang, dan aku termasuk dari orang-orang itu. “Aku” yang mana? Itu, “aku” yang tadi ngomongya pengen cepet keluar sambil nepuk-nepuk perut. Dan detik itu pula teman yang kusuruh kalo mau, nyontek buruan aja, berpaling ke mejaku.
“Ham, badahulu lah…”
Semuanya ludes, kecuali tinggal tiga orang yang bertahan masih di dalam lokal, dan aku salah satunya!
Aku masih bingung, dan lonceng tetap berdentang. Kutatap lembar jawabanku. Penuh. Padat. Berjejal dengan coretan artistik, kayak efek asap hitam bom. Ah, nggak pa-pa. Setidaknya antarmuka kertasnya penuh, walaupun salah. Kali aja pengoreksinya ngira begini: Oh, kepenuhan ya. Mungkin padahal dia ingin nulis jawaban yang benarnya tapi nggak muat lagi. Saya kasih 9 saja, sebagai upah nulis.
Aku bergegas keluar lokal, coz perut keroncongan. Beberapa menit kemudian aku masih mondar-mandir di muka di sepanjang lokal. Bukannya mau gaya-gaya sih atau sok gimana gitu, tapi suer sandalku banyak fansnya. Terpaksa aku pulang bersama sandal gabin hitam yang mengharukan, sampai-sampai pemiliknya aja teralu malu melihatnya.
Di kantin…….
Aku berduka….. karena lontong habis. Sebenarya di kelas aku nggak hanya mikirin نائب الفاعل, namun lontong juga. Lagi-lagi terpaksa makan wadai yang….. Mau gimana lagi, keduluan orang.

Ulangan jam kedua. Di lokal……..
Lughatul Arabiyyah. Seperti yang sudah kukatakan nggak terlalu sulit. Tapi ada gangguan datang dari orang sebelah. Ini benar-benar orang sebelah lho. Yang duduk di sebelahku, di seberang jalan itu. Dia tuh nyontek agresif luar biasa. Patut diancungi jempol. Tapi tetap aja ketahuan pengawasnya. Biasanya kalau pengawas yang satu ini nemuin ada yang nyontek, nggak langsung beliau keluarkan, tapi tempat duduk pelakunya saja yang dipindah ke tempat duduk pengawas. Benar-benar hal yang memalukan. Apalagi pas ada ustadz-ustadz yang keliling lokal, bah… bakal jadi tontonan dah. Dan sialnya lagi misalnya kebetulan satu di antara ustadz yang keliling itu adalah wali kelas sendiri.
Nah yang jadi pertanyaan di sini, apakah orang sebelah ini juga akan mengalami nasib yang sama seperti pendahulunya? Ternyata tidak, dia dibiarkan duduk manis di alamnya. Malah pengawas yang mulia ini mempersilahkan aku yang duduk di kursi pengawas!
“Biar aman,” dalih beliau.
Aman-aman tapi malu, pikirku.
Lagi-lagi terpaksa (kenapa pemeran utama mulu yang terpaksa, kayak di sinetron?) aku duduk di kursi pengawas. Malu? Pastinya, iya. Apalagi ustadz pemegang Lughatul Arabiyyah datang.
“Di sini kurang kursinya kah?” tanya beliau kada tahu-tahu muha. Kubalas aja, aku juga kada tahu-tahu muha.
Inilah ulangan yang benar-benar ujian.[]

Tidak ada komentar: